Empat dekade puisi-puisi abadi Sapardi Djoko Damono

Oleh Rani Ariana

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(1989)

Ramuan indah untaian kata oleh pujangga satu ini tak henti-hentinya dapat meluruhkan hati setiap orang yang membacanya, lintas zaman. Bagai seorang pesulap yang bisa mengubah kertas menjadi seikat bunga, ia bisa membuat larik demi larik karya puisinya memiliki nilai dan makna yang jauh lebih dalam dari makna eksplisitnya (tekstualnya). Tak dipungkiri penyair legendaris ini berhasil menggosok besi menjadi sebongkah berlian yang berkilauan dan memukau bagi para penikmat sastra Indonesia. Dengan imajinasinya, ia mengajarkan “metafora-metafora baru” yang membuat untaian kata-kata itu menjadi luar biasa indah.

Salah satu sajaknya “Aku Ingin” (1989) di atas, merupakan salah satu sajak yang popular dari Sapardi, begitu ia biasa disebut. Kalau saya membaca sajak ini, ia ingin menyampaikan kesederhanaan dan ketulusan dalam mencintai. Sajak ini berusia sudah lebih dari dua dekade dan menjadi salah satu puisi abadi Indonesia. Dan meski usia puisi ini sudah bisa dikatakan tua, namun puisi ini justru nampak semakin matang di antara puisi-puisi modern saat ini.

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sang pujangga, lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) ini merupakan seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia, utamanya dunia kesusastraan. Lewat karir yang panjang sebagai penyair, penerjemah, redaktur, dan pengajar sastra, Sapardi telah melahirkan banyak karya, murid, maupun peniru. Salah satu kiprah beliau adalah tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin (puisi yang terdiri atas empat baris tiap sajaknya), seperti salah satu sajak popularnya berikut.

PADA SUATU HARI NANTI

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

(1967)

Saat ini, terhitung sudah lebih dari empat dekade karya Sapardi mewarnai dunia kesusastraan Indonesia dengan mahakaryanya yang sungguh luar biasa. Lebih dari 40 tahun puisi-puisinya yang dekat dengan tema-tema seperti cinta, kehidupan, dan kematian mengispirasi kita atas kehidupan dari sudut yang berbeda. Bertolak belakang dengan dunia yang penuh dengan teknologi canggih, terisi dengan runyamnya kehidupan, dan kerasnya perjuangan dan persaingan, beliau justru memandang dunia dengan kesederhanaan melalui syairnya. Ia  kerap menyebut hujan, debu, angin atau bahkan pada hal-hal lebih remeh-temeh, tetapi tidak mengurangi muatan maknanya. Dengan kesederhanaanya itu, terbukti karya-karyanya terus mendapatkan berbagai penghargaan dari masa ke masa, seperti SEA Write Award (1986), Penghargaan Achmad Bakrie (2003), penghargaan Dewan Kesenian Jakarta, Anugerah Puisi Poetra Malaysia, dsb.

Sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap karya-karyanya, pada 1987 puisi-puisi Sapardi mulai dibuat musikalisasinya. Awalnya, gagasan musikalisasi karya Sapardi ini adalah sebagai upaya mengapresiasi dan memperkenalkan karya sastra kepada para murid Sekolah Menengah Atas. Efeknya lebih dari itu, karena ternyata dengan musikalisasi ini, puisi Sapardi lebih banyak lagi mendapat penggemar, dan karenanya banyak musisi-musisi yang menggubah-ulang lagu-lagu tersebut. Bukan hanya menjadi soundtrack film, seperti puisi “Aku Ingin” yang diaransemen-ulang oleh Dwiki Darmawan untuk film Cinta Sepotong Roti (1991). Selain itu, beberapa musikalisasi Sapardi diinterpertasi oleh Ananda Sukarlan dalam konser spesial Kantanta “Ars Amatori”. Dan, bagi yang ingin menikmati beberapa puisi dan musikalisasi puisinya bisa dilihat dan diunduh di laman saya ini.

Akhirnya, menurut saya, apa yang disampaikan dalam sebuah syair merupakan sebuah wujud keindahan kehidupan yang bisa terus abadi dalam setiap lariknya. Seperti harapan Sapardi dalam wawancara majalah Tempo di salah satu acara musikalisasi puisi, “Penyair bisa mati namun karyanya akan tetap abadi selamanya”.

Daftar Bacaan:

16 thoughts on “Empat dekade puisi-puisi abadi Sapardi Djoko Damono

  1. Harry

    wah dalem banget kata katanya…

    tak tambahin ya

    aku ingin menjadi batu karang
    yang tegar bertahan dari hantaman gelombang ombak.

    aku ingin menjadi bunga edelwis
    yang mampu hidup di puncak tertinggi dan menantang matahari. ^_^

    Reply
  2. Rani Post author

    Kalo mau nambahin bilang Sapardi duluu, ni puisi legendaris gak boleh maen edit! >.< Kamu nulis puisi aja sendiri.. judulnya "Aku juga ingin" hahaha.. Anw, thanks udah mampir and kasih komennya Ketep.. ^^

    Reply
  3. Harry

    hahaha maaf ya bu supardi 🙂

    ana ga bakat bikin puisi makanya pake teori amati dan ciptakan..”ujung ujungnya jiplak..^_^”

    Aku ingiiiiiin………………………………

    Reply
  4. Rani Post author

    Hahaha..
    aku juga gak bisa bikin puisi..
    Sama, aku juga ingin, tapi belum cukup berilmu seni dan sajak..
    (walau mungkin, hakekatnya, setiap orang punya refleksi seni dan sajaknya masing2, dan sebenarnya tak ada standar yang manapun yg boleh mengekangnya untuk terekspresikan)

    Sekarang aku baru bisa mengapresiasi karya-karya “luar biasa” yg udah ada ini..
    Kapan2 kalian harus baca buku2nya Sapardi.. bagus banget lhooo!! 😀
    Dari 3 bukunya, kerasa banget bahwa banyak hal di kehidupan ini yang terlewatkan oleh kita. Bisa dimulai dengan “Hujan Bulan Juni”. 😉

    Reply
  5. Oedi`

    Hmm… masih berkisar puisi Supardi ya… Okey… lanjutkan… 🙂
    Kupas semua hasil karya para pujangga tanah air…. biar generasi muda Indonesia kini makin mengenal dunia kesusastraan….
    Dan kalau bisa tambahin juga dunk ulasan dari karya Pramoediya Ananta Toer, Marah Rusli, Muhammad Yamin, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Buya Hamka, Emha Ainun Najib… biar makin lengkap… hehe… 🙂

    Reply
  6. Rani Post author

    Hehe.. Makasih Oedi kunjungan dan sarannya..

    Aku masih pemula banget ni dalam sastra. Masih sangat miskin referensi. Nanti semoga bisa mengembangkan referensi ke level yang lebih tinggi 😀

    Reply
  7. Rani Post author

    Halo Bunda Anggie, makasih ya udah mampir di blogku, salam kenal juga ^_^

    Aku juga sebenernya bukan penggila sajak. Awalnya sih aku amazed sama puisi “Aku Ingin”nya Sapardi dan mulai denger musikalisasinya. Nah setelah punya koleksi album musikalisasina itu aku jadi tertarik baca puisi2nya yang lain dan ternyata memang bagus-bagus 😀

    Aku juga udah mampir di blog Bunda lho.. tapi kok gak bisa ninggalin komen ya?

    Reply
  8. Oedi`

    Okey…. pokoke semangat trus dech… aku yakin Rani pasti bisa kok… asal rajin aja nggolek2 bacaan dan referensinya… malah mungkin nanti bisa menyaingi mereka yg para pujangga… hehe… 😀
    Tak tunggu deh perkembangan dari kajian kesusastraannya…. 🙂

    Reply
  9. Sigit Pamungkas

    Aku ingin mencintaimu dengan membabi buta –
    dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
    tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

    Aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta –
    dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
    ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

    (Saut Situmorang,1999)

    Reply
  10. Rani Post author

    @Oedi’, Thanks buat supportnya! Semoga aku bisa meningkatkan kualitas menulisku. Karena menurut proof-reader ku, kualitas menulis punya beberapa level. Dan untuk meningkatkannya perlu waktu dan pembelajaran 🙂

    @Amung, Puisi Saut Situmorang itu nampak berlawanan sama puisi “Aku ingin”. Terllihat berat,”rumit” dan menyakitkan. Tapi memang, bentuk cinta tak mungkin hanya 1. Sederhana? Mungkin saja. Tapi rumit dan berbelit-belit pun sangat mungkin! It is just how we make it work!
    Apapun ekspresinya, yang penting adalah ketulusan, kejujuran, kemurnian, dan kesetiaan di dalamnya 🙂

    Reply
  11. Rani Post author

    Hi Alitpuja! Salam kenal!

    Ya, saya setuju dengan statement Alit “hentakannya mirip”. Karena banyak yang telah membahas diberbagai media mengenai kemiripan karya-karya Sapardi Djoko Damono dengan Kahlil Gibran, seorang penyair asal Lebanon Amerika. Dari beberapa artikel dan karya yang saya baca, memang benar ada kemiripan diantara keduanya, namun tidak dapat dikatakan sebagai penjiplakan (saya belum pernah membaca syair Kahlil Gibran yang SAMA PERSIS dengan Sapardi).

    Kemiripan tersebut kemungkinan disebabkan oleh kemiripan gaya bahasa dan penulisan. Bisa saja pada saat itu karya-karya Kahlil Gibran memang menjadi inspirasi bagi beberapa penyair tanah air, dan kemiripan (bukan penjiplakan) adalah tidak haram hukumnya. Artinya, kebebasan berekspresi tetap menjadi hak setiap penyair! Tidak mungkin juga toh, untuk setiap penyair untuk menelaah semua karya yang telah ada, hanya untuk memastikan tidak ada kemiripan dengannya.

    So, buat para penulis, penyair, jangan takut dicap “plagiat” selama karya yang Anda buat memang hasil buah pemikiran Anda! 🙂

    Reply

Leave a Reply to Sigit Pamungkas Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *