Author Archives: ranivito

Jurnal Perjalanan I: Keterpaksaan

Disadari atau tidak, dalam hidup kita sering sekali memulai sesuatu dengan keterpaksaan. Ketika kita kecil, orang tua kita menjauhkan mainan dari jangkauan supaya kita terpaksa berjalan untuk mengambilnya, yang pada akhirnya, itulah yang membuat kita berani berlari. Di masa sekolah, mungkin seringkali kita merasa terpaksa belajar banyak mata pelajaran yang menurut kita tidak menarik, tapi justru dari situlah pada akhirnya kita tau apa yang sebenarnya kita minati.

Hidup ini adalah rangkaian proses, kan? Proses yang multi-series tanpa henti hingga kita mati. Kita lahir dengan membawa gen dari orang tua kita dan tumbuh dalam berbagai proses dengan faktor-faktor yang mengiringinya. Lalu, apakah proses selalu ada awal dan akhir? Menurut saya, ya. Hanya saja kalau kita bicara tentang hidup, proses itu akan selalu tumpang tindih sehingga sering kali tanpa jeda sehingga kita tak menemukan titik henti.

Setelah berbagai proses yang telah kita alami, sekarang kita diberi sebuah keterpaksaan lagi. Kita berada pada situasi yang tidak kita inginkan. Situasi yang menyedihkan, menegangkan, menyakitkan, dan lebih parah lagi, kita tak tau kapan situasi ini akan berakhir. Kita dipaksa menghadapi realita yang sangat tidak mudah. Apakah ini sebuah proses? Ya. Apakah akan ada hikmah dari proses ini? Pasti. Tapi apa? Itu semua tergantung bagaimana kita menjalani proses ini dan menghargai memaknai hasilnya.

Saya? Saya juga sedang dipaksa untuk bisa melewati masa ini. Proses berat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada rangkaian lelah yang saya harap akan membuahkan hikmah yang besar dan ada rangkuman keresahan yang semoga berakhir dengan kedamaian.

Eh, lalu apa hubungannya dengan foto kopi? Karena kopi bisa dianalogikan sama dengan hidup. Untuk memprosesnya menjadi kopi enak tidak mudah. Ada perjalanan panjang untuk memberikan rasa yang maksimal. Berapa lama? Berapa kali proses? Berapa kali harus mencoba? Bisa belasan, puluhan, bahkan ratusan kali lagi. Kalau kopi saja begitu rumit, apalagi hidup?

Jadi,.. masih adakah yang meragukan bahwa untuk mencapai tujuan, pasti ada perjalanan?

Semoga kita bertemu di ujung sana, ya?

Wanita itu, Bukan Wanita

Tiba-tiba dadaku sesak, terus turun menekan lambung dan rahimku. Hilang semua nafsu makan, sementara janinku mendadak tegang. Kupejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam, berharap aliran udara dalam paru-paruku itu bisa menenangkan ledakan emosiku. Gagal. Suara wanita iblis itu masih terngiang jelas di telingaku.

“Dasar goblok!! Ceroboh!! Mengapa hal sepenting ini bisa terlewatkan? Saya perhatikan kinerjamu menurun sejak kamu mengandung!! Aahh.. wanita hamil memang selalu tidak produktif dan lamban!! Perusahaan rugi gara-gara kamu tahu?!!” sengit wanita separuh baya itu menyentakku dengan angkuh di tengah keramaian kantin kantor siang itu.

“Hidup adalah memilih. Tanpa pilihan adalah mati. Setiap pilihan punya konsekuensi. Konsekuensi bisa bermakna mati. Mati rasa, mati raga, mati hati.”

Ini sudah kedua kalinya aku mengandung. Kandungan pertamaku kandas bersamaan dengan sebuah perhelatan akbar rapat koordinasi (rakor) sebuah partai di Kalimantan dua tahun lalu. Saat itu,kandunganku masih empat bulan.

Salahku memang, karena saat itu aku mengandung di luar ikatan kelembagaan yang orang sebut ‘pernikahan’. Keadaan masa itu terlalu sulit untuk digambarkan, bahkan terlalu rumit untuk diingat. Saat itu aku berusia 23 tahun, baru 6 bulan lulus kuliah, dan 4 bulan bekerja di perusahaan ini. Bingung dan takut meliputi perasaanku. Kami belum punya apa-apa. Bahkan kedewasaan sekalipun. Suamiku lebih muda setahun dari usiaku dan saat itu masih menyelesaikan kuliah di semester akhir. Dia jauh lebih bingung dan takut daripada aku. Tanpa penghasilan, tanpa gelar, dia sama sekali tidak punya keberanian. Serba sulit dan dunia bagaikan neraka. Tapi bukan berarti aku tidak menginginkan bayi itu! Itu anakku, dan seburuk apapun keadaanku, aku tetap ingin dia lahir dengan sempurna ke dunia.

“Sa.. sayang, bagaimana jika kita gugurkan saja bayi itu?”, kata kekasihku terbata-bata.
“Jangan!Gila kamu!! Sekalipun kau meninggalkanku, aku tetapmempertahankan kandungan ini!” ledakku padanya.

Setelah melalui proses penenangan diri yang cukup panjang, akhirnya kami beranikan diri untuk mengatakannya sejujurnya pada orang tua kami. Air mata dan kemarahan mereka tumpah ruah pada kami. Terlalu banyak cacian dan teriakan di telinga kami. Terlalu banyak untuk diceritakan, bahkan untuk sekedar diingat. Namun, setelah melewati sederatan ledakan emosi dan keperihan mendalam itu, atasnama kebesaran Tuhan, kami akhirnya menikah kala kandungankuberusia dua bulan.

Bahagia, walau tak bisa dikatakan benar-benar bahagia. Tapi,mengingat bayiku akan lahir di tengah sebuah keluarga yang utuh, itumembuatku cukup merasa bahagia. Hanya aku dan bayiku, tapi tidak dengan keluargaku.
Pernikahan sederhana itu berlangsung ala kadarnya. Tanpa kemewahan, tanpa suka cita. Tanpa keceriaan dan kebahagiaan layaknya sebuah upacara sakral yang biasa kulihat. Lingkaran hitam dan kantung mata yang jelas tergambar di wajah ibuku, wajah murung dan tarikan nafas yang berat dari ayahku, menyadarkanku pada keadaan yang sebenarnya. Bahwa aku telah menyakiti mereka terlalu dalam.

“Ibu, maafkanlah aku. Aku tahu aku nista. Aku tahu aku telah menyakitimu terlampau dalam, Bu. Tapi kumohon, tetaplah sayangi aku, ijinkan aku tetap menjadi anakmu, Bu.”, kalimat itu berulang aku ucapkan saat prosesi sungkeman hari itu.

Deraian air mata tak habis-habisnya keluar dari pelupuk mataku yang membengkak ini.

“Jika dunia runtuhpun engkau tetap anakku, sayang. Jaga cucuku baik-baik.” Hanya itulah yang terucap dari mulut ibu saat itu. Dia terus menangis tanpa bisa berkata-kata lagi.

Setelah ritual formalitas itu, aku tetap melanjutkan perkerjaandan mencoba menjalani hariku dengan biasa. Aku lebih dari yakin seluruh rekan kantorku mengerti apa yang terjadi padaku. Muntah-muntah yang menjadi rutinitasku di pagi hari dan pengumuman bahwa akutelah menikah mendadak membuat kasak-kusuk publik terbentuk dengan sangat cepat, dan (kebetulan) tepat.

“Retno, sudah berapa bulan kandunganmu?” tanya wanita itu dengan sinis di suatu siang.
“Tiga bulan. Duabelas mingggu, Bu,” jawabku.
“Lalu bagaimana dengan proyek yang sedang kau kerjakan? Ini akan tetap jadi tanggungjawabmu. Jangan coba-coba jadikan kandunganmu sebagai alasan!” ucapnya menusuk relungku.
“Ya, Bu,” jawabku singkat. Ragu. Ya sebenarnya aku ragu. Tapi demi pekerjaan ini, dan demi sedikit uang tambahan yang biasanya aku dapat setelah menyelesaikan sebuah proyek, aku nekat. Ya, aku butuh pekerjaan ini.

Tiga minggu berselang, berangkatlah tim kami ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kota kecil di tengahpulau terbesar di Indonesia. Cukup terpencil pikirku, karena pesawat kami harus turun di Banjarmasin dan baru dilanjutkan dengan mobil ke kota tersebut. Medan berat, tebing-tebing terjal, dan jalan yang super rusak, membuat perutku berkali-kali memuntahkan isinya.

“Hanya mabuk kendaraan. Aku kuat,”batinku.

Setelah delapan jam perjalanan, kami tiba di tempat pelaksanaan acara. Rapat koordinasi sebuah partai berlambang banteng untuk wilayah Kalimantan. Rapat tahunan dengan seribu peserta ini sengaja dibuat di Palangkaraya dengan maksud menghimpun suara rakyat ‘kecil’ di kota itu. Disertai dengan program ‘berbagi’, umbaran janji dan kata-kata manis, rakor ini terasa begitu naif bagiku.

“Ah, politik selalu kotor! Mana ada yang bersih. Terkutuklah kau para politikus!”batinku.

Acara ini akan berlangsung selama empat hari. Dan tiga hari telah terlewati dengan baik, dengan minimnya komplain dari para peserta. Aku sebagai asisten koordinator saat itu cukup merasa tenang dengan lancarnya acara tersebut. Walaupun jam kerja kami gila-gialaan, tapi kami puas dengan hasilnya.

Di hari ketiga pelaksanaan, kami bekerja hingga cukup larut. Pukul 3.30 dini hari, saat terakhir kali aku melihat jam tanganku, sebelum kami kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Keesokan pagi, segala sesuatu terasa normal, kecuali perutku yang terasa kencang dan mulas. Dengan berbekal tekad, aku meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja, bahwa itu hanya gejala biasa ketika aku bekerja terlalu letih.

“Hari terakhir,” kataku.

Dengan menahan rasa sakit di perutku, aku tetap menjalani rutinitas:memeriksa daftar hadir peserta, sound system, letak kursi VIP, letak mikrofon, kesiapan pengisi acara, konsumsi, kru yang bertugas, dan tentu saja mengecek keberadaan sang bintang utama yaitu Ketua Partai.

Waktu menunjukkan 09.30 ketika perutku mendadak sakit luar biasa. Acara sudah dimulai, dan aku berada pada pojok belakang ruang pertemuan. Dalam keadaan berdiri, kucoba menahan rasa sakit yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Sesaat penglihatanku hilang, namun aku tersadar lagi. Tak berapa lama, aku merasakan aliran air sepanjang kakiku.

“Air apa ini?” batinku kaget.

Dengan menunduk lemas, aku melihat arah betisku yang terbuka, dan kulihat aliran air iru berwarna merah. Sekian detik aku melihatnya, dan menyadari bahwa itu adalah darah.

“Oh, tidak. Ya Tuhan…,” dalam keadaan lemas, air mataku bergulir, duniaku gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu.

Entah berapa lama aku jatuh pingsan. Ketika aku membuka mata, aku berada di ruangan dengan tembok putih dan infus sudah terpasang di tanganku. Aku berada di rumah sakit. Tak lama, seorang dokter datang menghampiriku.

“Selamat sore Ibu Retno, perkenalkan saya Sherly, dokter kandungan di rumah sakit ini.”, sapanya dengan senyuman kaku.
“Bagaimana dengan janin saya?” sontakku dengan spontan.
“Ibu, Ibu tenang dulu ya. Saya akan jelaskan kepada Ibu semua yang ingin Ibu ketahui. Namun sebelumnya, dimanasuami Ibu saat ini?”
“Suami saya di Yogya, Dok. Mengapa Ibu menanyakan suami saya?”
“Tidak apa-apa Bu, saya fikir suami Ibu ada disini, sehingga saya bisa menjelaskan langsung kepada kalian berdua secara bersamaan.”
“Ada apa sebenarnya, Dok?” tanyaku lemah. Pikiranku sudah kacau, dadaku sesak.
“Bu, mohon maaf saya harus mengatakan ini, bahwa bayi dalam kandungan Ibu sudah tidak bernyawa. Detak jantungnya telah berhenti setelah terjadi pendarahan tadi.”

Dunia seakan runtuh seketika. Aku tak bisa bernafas lagi. Air mataku mengalir deras sekali tanpa bisa kubendung, tapi tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.

“Bu, tindakan medis pembersihan rahim harus segera dilakukan. Ditakutkan nanti Ibu bisa terkena infeksi jika terlalu lama,” lanjutnya.

“Sabar ya Bu, InsyaAllah setelah proses operasi ringan ini dan pengobatan, Ibu bisa segera mengandung lagi,”ucapnya lembut bermaksud menenangkanku.
“Enak saja bicara!! Kau pikir mudah untuk menghadapi persoalan seperti ini dan berfikir bahwa aku akan bisa cepat mengandung lagi!!”batinku disela isak tangisku yang semakin lama semakin keras. Tak ada suami, tak ada kerabat, dan tak ada rekan. Ah ya, teman-temanku pasti tidak bisa meninggalkan acara yang masih berlangsung itu.
“Lakukanlah yang terbaik,” jawabku datar. Dan dokter itupun mengangguk sembari mengatakan,“pastiBu.”.
Proses operasi kiret itupun dilakukan. Pasca operasi aku masih harus berada di rumah sakit selama tiga hari. Teman-teman kerjaku telah kembali ke Yogya. Atasanku tak memperbolehkan satupun orang untuk tinggal menemaniku. Aku hanya diberikan tiket pulang dan beberapa surat yang harus aku tandatangani.

Aku baca surat-surat tersebut. Salah satunya adalah surat pernyataan ijin dan lalai terhadap tugas. Surat lainnya mengatakan pernyataan cuti, dan satu surat lagi menyebutkan bahwa semua biaya rumah sakit telah dibayarkan oleh perusahaan dan akan dihitung sebagai hutangdan pembayaran akan secara otomatis dipotongkan pada upah setiap bulannya.

“Mengapa surat ini harus diberikan padaku sekarang? Mengapa tidak di Yogya?”kataku lirih. Bergetar tanganku karena marah, bingung, sedih. Tapi apa daya. Tak ada yang bisa aku lakukan. Semua telah terjadi. Aku kehilangan anakku, dan harus menanggung semua kekejian perusahaan atas musibahku.

“Maafkan Ibu, Nak. Maafkan aku tak bisa menjagamu. Kembalilah kepada Tuhanmu. Dunia ini kejam, Nak. Mungkin kau akan muak hidup disini. Bertemu orang-orang tanpa hati. Lebih baik kau hidup di surga. Damai dan bahagia.”

“Jaga ucapan Anda, Bu!”, dengan lantang aku menantang wanita yang tidak terlalu tinggi itu.
“Seandainya saya Ibunda Anda masih hidup dan melihat perlakuan Andasaat ini, saya yakin, beliau menyesal telah melahirkan Anda di dunia!! Anda wanita, tapi tak pernah jadi wanita!!”.

Kemarahanku memuncak. Aku sudah tegak berdiri berhadapan dengannya. Satu tanganku mengepal kencang, dan satu tangan lagi menunjuk tepat di depan hidung buatannya itu. Jantungku berdetak bagai aku baru saja berlari setidaknya lima kali berkeliling stadion. Hampir saja aku menambah kekejaman dengan meludahi wajah yang berekspresi aneh itu. Tapi kutahan. Aku tak mau ikut hina dengan melakukan itu padanya.

“Cukup Bu, saya resign. Terima kasih atas penghidupan yang Ibu berikan pada seluruh penghuni neraka ini. Selamat siang.” Dengan mantap aku melangkah. Naik ke lantai dua dimana meja kecil jelek tempatku biasa bekerja diletakkan, membereskan barang-barangku, dan dengan langkah secepat mungkin meninggalkan tempat jahanam itu.

Terus kuingat wajahnya yang sudah dalam puncak kemarahan. Matanya terbelalak merah, bibirnya terkatup rapat saking tak bisa berkata-kata. Sekilas aku berpikir wajah artifisial itu semakin aneh. Apakah alis yang terletak terlalu jauh dari mata itu baru saja ditato ulang? Atau karena kemarahannya sehingga posisinya menjadi jauh lebih aneh dari biasanya. Aku terus berjalan menuju halte bus terdekat sambil terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku pasti bisa bertahan. Aku pasti masih bisa berkarya. Tapi tidak disini. Tidak di tempat yang tidak memuliakan kehidupan. Wanita itu tak pernah sadar, bahwa selain Adam dan Hawa, kehidupan dimulai dari rahim ini.

“Tenang Nak, kali kau selamat. Ibu bersumpah akan melindungimu,”janjiku sambil memeluk erat perutku sendiri. []

Engkau Nyata dan Tak Ada

Kau hadir di setiap mimpiku
Tapi kucari, kau tiada

Halusinasi dan tak nyata
Itulah dirimu

Dalam setiap lamunan kau muncul
Hampir nyata tapi tak ada

Rasa yang dekat dan melekat
Seperti angin disela rambutku
Seperti wangi bunga di musim semi

Ketiadaan membuatmu ada
Di setiap mimpiku
Di setiap lamunku

12 April 2017, 2:03 Am

Karena malam yang panjang selalu syahdu.

Rindu oh Rindu

Melengkapi kalimat yang tak selesai, habis dimakan waktu.
Ada tujuan tanpa tau arah.
Pandangan yang samar, di kejauhan.

Ada tujuh warna dalam satu cahaya,
saling melengkapi dalam terang.

Bisikan lirih membawa senyum.
Hilang sesaat lalu hadir lagi dalam hangat.
Ingin kupeluk selamanya.
Rindu oh rindu.

Mentari pagi, di mana engkau?

Enam Belas Hari Lagi Desember

Senja tak akan abadi
Begitu pula sejuknya udara pagi
Yang berganti menjadi panas yang terik
Atau hujan yang lebat

Kau takkan mengetuk pintu ini lagi
Bisa saja,
Besok kita tak lagi jumpa

Mengapa kau tancapkan paku?

Padahal aku kaca
Kepinganku bisa melukaimu

Enam belas hari lagi Desember
Ingatkah kamu?

Secercah Surga

Terayun-ayun ujung kaki menyentuh tanah basah
Menggantung di ranting pohon jambu
Semburat ungu di langit senja
Udara segar semerbak bau tanah

Tersungging senyum bahagia tak tereka
“Tak ada yang sebahagia aku” batin si gadis berambut tipis
Riang tak terkira seriang rambutnya menari diterpa angin
Butiran air membanjiri bumi
Seiring butiran haru di pipinya

Oh, alam tak pernah seindah ini.

Come Closer

Taken from www.tsitra360.deviantart.com

Taken from www.tsitra360.deviantart.com

Tomorrow is just the same day
Cloudy-cold-creepy day

Hey baby, where are you
Please come closer
We talk over the sun
And face this desert land

The spooky wind is coming after me
I can’t run

Please come closer
Bring me the blanket
and the water i can jump

Hey baby, I can’t hold on
Blood is just like a dew in the morning
Flowing just like the tears

on my cheek

Today is colder than yesterday
But it feels better
I feel nothing, no more

Hey baby,.. i’m free..
Please come closer, and join me..


Yogyakarta, May 17, 2013

Saya Bukan Siapa-Siapa

Saya bukan siapa-siapa,
Bukan pahlawan,
Bukan wanita tangguh yang tak pernah mengeluh,
Dan bukan wanita lembut yang anggun dan rupawan.

Saya bukan siapa-siapa,
Bukan wanita jenius,
Bukan musisi,
Dan bukan juga koki yang handal.

Saya (mungkin) akan tetap bukan siapa-siapa,
Tetap wanita biasa,
Tetap istri biasa,
Tetap ibu biasa.

Saya bukan siapa-siapa

Together..

You & Me – http://www.createblog.com

The kisses of your lips, bitter sweet,
are where the story begins.

You never know, even I,
if the storm may be end, when we sleep over the night,
and if the clouds and the rain never meet again.

We breaching out the rules, but like you said,
we are gonna be okay.
as if we know that we belong to be together.

The branches are broken,
they fall to the ground.

Hey, it is rainy season,
but why nothing is flowing into the river?

Then your arms hold me tight,
give me no more reason to turn back.

And now all i know is eternity,
in the heart, deeper than anything before,

We are three, together..

Zine: Alternatif atau Mainstream [1]

Oleh Khidir Marsanto

Repost dari : http://jarakpandang.net/blog/?p=1185

:: Fanzine ::

Tatkala saya membaca atau mendengar istilah ‘alternatif’maka yang muncul dalam pikiran saya pertama kali adalah oposisinya, yaitu ‘mainstream’. Istilah mainstream dalam kamus bahasa Indonesia disebut ‘arus utama’ atau ‘aliran utama’. Imajinasi mengenai dikotomi istilah pada dua sisi berlainan atau berlawanan tentang hal ini biasanya memang diarahkan ke sana—setidaknya dalam asumsi saya. Jadi, meminjam bahasa dalam perspektif Marxian, sesuatu hal yang ‘alternatif’—yang dilawan, ditolak, atau digugat, itu ada tersebab eksistensi dari- dan relasinya dengan sesuatu yang dipandang ‘mainstream’—yang ‘status quo’ atau yang konvensional, vice versa. Dalam konteks jagat media, dialektika seperti ini kira-kira yang biasa terjadi.

apakah zine merupakan media alternatif atau media mainstream? Menurut saya tidak selalu, tergantung dari mana cara kita memandangnya

Berkenaan dengan hal itu, tatkala membicarakan gejala sosial-budaya, utamanya pada masyarakat perkotaan dan konteks lebih luas adalah masyarakat yang berjejaring secara mengglobal mau tidak mau akan berhubungan erat dengan media. Media mempunya genre beragam, namun yang diangkat dalam esai ini adalah zine, yang merupakan kependekan dari fanzine (fan magazine).

Zine menarik bagi saya sebab, pertama, masih belum banyakyang mengkaji soal ini di Indonesia meskipun ia telah muncul sejak dua dekade lalu sebagai bagian dari gejala budaya pop di Indonesia. Kedua, kemunculan zine umumnya mengisyaratkan sebuah perlawananyang termediasi dalam bahasa tulis dan diproduksi secara mana-suka. Ketiga, isu-isu yang diangkat biasanya tidak jauh dari tema identitas ‘liyan’ atau yang tidak biasa diketahui oleh orang awam di media massa konvensional, seperti misalnya gay dan lesbian (homoseksual) (lihat kajian Tom Boellstorff, 2004mengenai zine dan bahasa homoseksual di Indonesia), komunitas punk, feminisme, komunitas arisan, komunitas curhat, musik hipmetal, dan sebagainya. Oleh karenanya, zine dapat dikategorikan sebagai ‘media alternatif’ (Anderson, 2011; Atton, 2002, 2010; Vantiani, 2010).

Dalam esai pendek ini, saya ingin menunjukkan seperti apa zine dalam relasinya dengan masyarakat urban di Indonesia, dan apa yang menarik dari fenomena itu. Tentang ini, paling tidak sejauh yang saya tangkap nampak dua isu: (1) isu identitas dan (2) isu pertukaran sosial. Sebagai tambahan dan saya kira penting untuk memancing perdebatan, saya akan memberikan komentar kritis berkenaan dengan istilah ‘alternatif’ dan ‘mainstream’ secara singkat di akhir tulisan, sebab menurut saya hal ini problematis jika tidak dipahami secara baik dan hati-hati.

Zine: menulis komunitas dalam kreativitas menulis

Zine diciptakan dan muncul sebagai respon atau perlawanan dari media massa mainstream. Sebab itu, biasanya zine berisi hal-hal yang bersifat menggugah, atau provokatif (tentu provokatif dapat dimaknai berbeda-beda, tergantung pada sudut pandangnya: bisa ‘positif’ atau ‘negatif’). Oleh karenanya, zine dipandang sebagai salah satu genre media alternatif (Atton, 2002; 2010) atau non-mainstream (Vantiani, 2010). Ketika media konvensional tidak lagi memadai bagi suara-suara (baca: hasrat) mereka, bagi hasrat informasi yang lebih spesifik, tata-letak dan corak yang khas lagi kreatif (dari sisi desain), maka zine adalah jawaban (baca: representasi atau simbol) bagi individu maupun komunitas tertentu.

Zine merupakan produk dari kebudayaan (ada yang menyebut sebagai sub-culture ada yang menyebutnya sebagai bagian dari pop-culture) suatu kelompok kaum muda pecinta ceritera-ceritera (komik) sains-fiksi di Amerika pada 1930-an yang dikembangkan lebih jauh sekitar empat puluh tahun kemudian secara lebih ‘massif’ oleh kelompok-kelompok berbasis musik (punk, misalnya), film, sastra, sketsa-sketsa pensil, streetart (graffiti), sports (roller-blade / in-line skate, skate board, dsb.), dan aktivitas kebudayaan lainnya; sebagian ada yang menyebut kemunculan zine pada 1980-an; dan sebagian yang lain mengklaim ia muncul pertama kali di Eropa (lihat Anderson, 2011; Atton, 2002, 2010; Vantiani 2010). Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelusuran Vantiani, zine baru dikenal pada awal dekade 1990-an (Vantiani 2010).

Jargon-jargon yang mendasari penulisan zine, berkisar seperti: Come on! Express your feelings, your questions about your sickness of the world, your (personal) problems, and whatever you wanna say. Hal-hal ini merupakan semangat yang diusung para pegiat zine. Karenanya, terdapat setidaknya empat karakter umum yang dapat kita tengarai pada zine, yaitu (1) a kind of liberal movement; (2) news values: don’t know what you are; (3) borderless media, choose your own media; dan (4) specific: focusing one topic (Vantiani 2010:1).

Sebagai media alternatif, Stephen Duncumbe dalam Notes From The Underground sebagaimana dikutip Vantiani, menjelaskan bahwa ciri unik zine adalah media yang ditangani secara non-komersial, non-profesional (amatir), disirkulasikan secara ‘underground’ kadang acak, editor (zinester—kreator zine) anonim sebab kadang nama menjadi tidak penting kecuali isi, bahkan kadang sebuah zine tidak mencantumkan alamat di mana zine ini dibuat (Vantiani, 2010) sehingga respon atas zine kadang tidak sampai ke zinesters. Editor (zinesters), atau pengedar utama dari suatu zine, merupakan kontributor terbesar dari zinenya, namun dia biasanya juga akan mendapatkannya dari teman atau sesama pembuat zine lainnya. Cara yang lebih umum membuka penawaran untuk berkontribusi untuk zinenya. Isi zine juga bisa merupakan bajakan atau ‘pinjaman’ dari zine lainnya atau media mainstream sekalipun, bahkan kadang diambil begitu saja tanpa ijin penulisnya (menyiratkan perlawanan terhadap copy right). Zine dicetak di atas mesin fotokopi biasa sebanyak 50 eksemplar (ada zine dengan jumlah setiap edisinya sampai 5,000 eksemplar seperti Slug & Lettuce), distaples, dan jumlah halaman berkisar antara sepuluh hingga empat puluh halaman (Maximum Rock ‘n Roll adalah contoh zine yang tebal) (Anderson, 2011; Atton, 2002, 2010; Vantiani 2010).

Zine sengaja diciptakan dengan semangat ‘perlawanan’: do it yourself (DIY) dan didistribusikan melalui strategi jejaring individu maupun yang dibangun melalui komunitas tertentu, yang mana hal ini bergantung pada topik-topik yang diusung sebagaimana telah disebutkan di atas. Struktur isi dari setiap zine secara umum berupa personal editorial, kemudian bisa muncul di sana artikel-artikel curhatan, kritik, opini, serta ulasan-ilasan mulai dari buku, musik, fesyen, dan sebagainya (Anderson, 2011; Vantiani, 2010). Sangat sederhana. Di antara halaman-halamannya terdapat puisi, cerpen, potongan-potongan berita dari media massa yang dirangkai sendiri kemudian diberi komentar tentang berita tersebut, juga ada yang menampilkan ilustrasi dan komik (Vantiani, 2010).

Dalam praktiknya, tekanan zine,“bukan pada apakah sifat zine yang mainstream atau non-mainstream (alternatif), melainkan lebih kepada apakah bisa dia berfungsi sebagai sebuahmedia komunikasi yang menyenangkan buat kita dan orang lain” (cetak miring penekanan dari saya, Vantiani, 2010:3). Tantangan para pengampu zine adalah sejauh mana dia dapat merengkuh pembaca sebanyak-banyaknya, dan tentu saja ini dilandasi prinsip tersampaikannya pesan dalam zine tersebut. Zine dapat dikatakan gagal bila isi zine tidak dapat dimengerti oleh pembacanya (Vantiani, 2010:2), meskipun pangsa zine tidak lain adalah dari komunitas penggemar tema tertentu itu sendiri.

Di mata saya, satu hal yang menarik dalam fenomena zine adalah bagi para fanzines,”meski zine bukan media mainstream, tetapi kultur menulislah yang dinomorsatukan!” (Ibid). Klaim ini mengingatkan saya pada Goenawan Mohammad di salah satu Catatan Pinggir, Majalah Tempo[2] yang mengatakan bahwa tiada masalah berarti bagi mereka yang disebut alay, bahwa mereka berbahasa dan menuliskannya dalam kombinasi serta komposisi bahasa yang unik, dan kadang terasa nampak rumit, toh yang pokok mereka menulis. Menulis, membuat mereka berfikir dua kali, tidak asal. Berpikir dalam sistematika logika bahasa yang lebih sulit ketimbang ketika mereka berbicara (GM, 2011).

Dari sudut pandang yang lain, Jaques Derrida misalnya, kultur menulis membuat orang tidak terjebak (gampang percaya) pada ‘kebenaran’ yang terlontar dari ucapan atau ujaran, sebab tidak jarang bahasa tutur dianggap paling representatif untuk menyampaikan sesuatu ‘kebenaran’ (fonosentrisme). Menurut Derrida bahasa tutur justru kerap menelikung (dari pemaknaan denotatif) kita atas maksud dalam kata-kata yang tersuarakan lewat mulut (Sarup, 1993:56—59). Dalam konteks gagasan Derrida ini, tulisan menjadi ‘istimewa’, dan dengan demikian zine adalah salah satu media interaksi antarsubyek dalam mendialogkan pikiran melalui tulisan, sehingga tercipta iklim yang produktif. Zine dihidupi oleh kaum muda, (biasanya) di kota, dan ia sangat dinamis, sehingga zine ini penting dalam makna ia merupakan salah satu sarana mereproduksi gagasan kreatif, berargumen, dan mereproduksi respon secara kritisatas ide-ide awam yang dipersoalkan.

Identitas dan Pertukaran Sosial

Melanjutkan bahasan di atas, jika kita berpijak dalam perspektif Lacanian, zine dan komunitasnya dapat dibaca sebagaimedia komunikasi reflektif. Zine menjadi sarana bercermin, dalam pengertian saling mengidentifikasi satu dengan yang lain melalui bahasa. Lacan mengatakan bahwa identitas atau diri (anggap saja si A) tidak akan hadir (atau mengada) tanpa diletakkan dalam relasinya dengan orang lain,yang mengatakan, menyebut, menganggap, menamai, atau menilai ‘karakter’ si A (Sarup 1993:10—13). Di kesempatan lain, Sarup mengatakan—juga dalam cara pandang Lacanian, bahwa, ”identity can be displaced; it can be hybrid or multiple. It can be constituted through community …” (Sarup, 2002:1).

Identitas itu bukan terberi (taken for granted) melainkan dibentuk (fabricated dalam istilah Sarup) melalui proses interaksi—yang bisa dipilihnya maupun tidak—dalam pengaruh faktor-faktor sosiologis maupun psikologis (Sarup, 2002:14). Oleh karenanya, komunitas zine dan produk kebudayaannya dapat dikatakan sebagai sarana ‘pembentuk’ identitas diri (dan komunitas). Identitas diri dimediasi oleh bahasa (tulis) atau teks yang diproduksi dan dikonsumsi oleh komunitas (orang lain). Di sini, sebagaimana di sebut di atas bahwa zine yang berhasil adalah zine yang dapat merangkul sebanyak mungkin pembaca, dan prasarat lain dari kesuksesan zine ialah kejelasan isi atau pesan (wacana) yang disampaikan darinya kepada pembaca.

The zine as a medium stands in for a social relationship: It is a token to be exchanged. Even when the zine is part of a commodity transaction, it carries with it something of the obligation that a gift exchange carries

Melalui kajian sosiologi, utamanya cabang disiplin seperti cultural studies, fenomena zine ini dapat dianggap tidak melulu merupakan fenomena konsumerisme, dalam arti para fan atau penggemar topik tertentu itu dianggap konsumen yang tak berdaya sehingga pasif atau menerima apa adanya hal-hal yang terjadi di sekitar mereka (lihat uraian Atton 2002, 2010). Namun, lebih dari itu. Atton mengatakan,”…that fans are cultural producers, forming an alternative social community where their activities build and sustain solidarity within the fan community.” Menarik bahwa solidaritas akan kegemaran tertentu dijaga dan dilestarikan dalam wacana yang ditulis pada zine tersebut. Atton menjelaskan,”…at the heart of zine culture is not the study of celebrity, cultural product, or activity, but the study of self, of personal expression, and of the building of community (cetak tegak penekanan dari saya, Atton, 2010).”

Kita lihat klaim Atton di atas “of the building of community” sebagai salah satu alasan zine diciptakan. Hal ini mengingatkan saya pada teori pertukaran sosial (social exchange theory). Dalam teori pertukaran sosial klasik sosiologi Durkheimian mengandaikan bahwa solidaritas sosial (komunitas) terjadi karena adanya pertukaran yang dilandasi motif-motif ekonomi semata (atau sebagai basis utamanya). Hal ini ditolak oleh Lévi-Strauss, antropolog struktural aliran Prancis yang anti-economic exchange. Dalam kacamata Lévi-Strauss yang ia adopsi dari Marcell Mauss, bahwa aktivitas pertukaran lebih dikarenakan oleh ‘moral’ para pelaku kebudayaannya. Dan pertukaran terjadi melibatkan unit-unit terkecil dari suatu komunitaskarena adanya ambisi-ambisi yang harus dijaga bersama (Ekeh, 1974). Kita tarik teori itu pada fenomena zine, berikut:

The zine as a medium stands in for a social relationship: It is a token to be exchanged. Even when the zine is part of a commodity transaction, it carries with it something of the obligation that a gift exchange carries. Rather than being bought from a vendor, the zine is almost invariably bought from an individual and is a product of that individual’s labor, a sign of their individuality. The acquisition of zines was surrounded by its own etiquette that expected readers to be patient it takes time to make zines, answer mail, and fill out orders.” (cetak tegak penekanan dari saya, Atton 2002; 2010)

Dari kutipan itu, pendek kata, kita bisa melihat secara implisit bahwa asumsinya adalah terdapat kesamaan gagasan, ide, maupun misi dalam benak para fanzine atau komunitas yang menghidupi zine itu, bukan faktor ekonomi yang mendorongnya, sehingga mereka merasa perlu ‘melestarikan’ atau mereproduksi wacana yang mereka anggap menarik atau penting melalui aktivitas produksi zine itu secara terus-menerus—tentu dalam batas kemampuan produksi mereka seperti yang dikatakan oleh Vantiani. Dari sinilah, dengan demikian,‘kebutuhan’atau‘hasrat’, dalam bahasa Lacan, kelompok ini tercukupi, dan karenanya kohesivitas (solidaritas) dan integrasi sosial dalam komunitas ‘terbatas’ (yang homogen atau bisa heterogen) ini terjalin secara baik.

‘Alternatif’ atau ‘Mainstream’: sebuah komentar

Sebagai penutup, dalam pandangan saya, melalui kasus zine yang diurai di atas, terdapat beberapa komentar atau setidaknya menyoal kembali berkenaan dengan konsep ‘alternatif’—dalam konteks sifat zine sebagai media alternatif, di atas yang saya anggap problematis. Pertama, yaitu ketika konsep ‘alternatif’ di situ merupakan wujud “perlawanan” dari media yang dianggap ‘mainstream’, maka yang terjadi adalah ekslusivitas media tertentu. Eksklusif dalam makna terbatas, atau media ini hanya disajikan dan dikonsumsi oleh mereka yang mengetahuinya saja, dan tentu saja menaruh minat pada media alternatif itu.

Sisi eksklusif tidak salah, namun ketika media alternatif menjadi ekslusif, asumsi atau pandangan spekulasi saya padanya adalah ia keluar dari kerangka misi utama media alternatif itu sendiri, yang mengandaikan bahwa media alternatif akan membawa nuansa yang demokratis (Creeber, 2009). Dalam kacamata tertentu memang ia demokratis, sebab ia merangkul sejumlah pesan dan misi yang hendak disampaikan dan disebarkan oleh kelompoknya. Namun, dalam pandangan saya ia pun kontra-demokratis sebab wacana yang dibangun di dalamnya tidak keluar dari ‘egosentrisme’ atau ‘etnosentrisme’ kelompok itu sendiri. Dengan demikian, ‘media alternatif’ dalam pandangan ini menjadi relatif.

Komentar kedua terhadapnya adalah bahwa konsep alternatif bukan sebenar-benarnya ‘alternatif’. Mengapa demikian? Sebab, kini, media yang mendaku dirinya sebagai alternatif pun pada gilirannya beranjak menjadi media mainstream—meskipun ia tetap berkutat di kalangan tertentu, namun skala jangkauan konsumen atau pembacanya menjadi lebih luas atau lebih banyak ketimbang saat media ini dibuat. Asumsinya adalah alternatif di sini dibayangkan sebagai bentuk media lain dari media konvensional, bisa koran, bisa televisi, bisa majalah, atau yang lain. Saya membayangkan, misalnya, koran Kompas yang dikategorikan sebagai media cetak mainstream, toh awalnya juga bukan ‘mainstream’ jika dilihat dari segi jangkauan keterbacaan koran ini. Dan bahkan, hingga kini saya kira Kompas masih kurang populer—jika tidak ingin dikatakan tidak populer—bagi kalangan masyarakat ‘desa’ maupun bagi kalangan ‘menengah kebawah’ di perkotaan. Dalam makna demikian, maka Kompas tidak keliru kalau dikatakan sebagai koran mainstream kelas menengah perkotaan, dan ia dengan sendirinya adalah media alternatif bagi masyarakat yang bukan kota dan yang bukan kelas menengah (c.f. Lukman Solihin, 2008 mengenai koran kuning di Yogyakarta).

Contoh lain adalah fenomena “media (sosial) baru” (the new media) di dunia maya dewasa ini. Twitter, misalnya, ia merupakan satu bentuk media alternatif yang paling terkemuka (jika dilihat dari penggunanya) dan kerap fungsional (jika dilihat dari efek yang muncul dari pengguna Twitter). Dalam pidato Dies Natalis UGM ke-62 Mochtar Mas’oed, guru besar ilmu Hubungan Internasional, FISIP UGM, memberikan uraian tentang bagaimana masyarakat di zaman yang serba teknologi-informasi ini mampu menghimpun dan bahkan menyatukan wacana publik untuk kemudian menggulingkan sebuah rezim penguasa tertentu melalui the new media (Mas’oed, 2011).

Kita bisa lihat demonstrasi massa besar-besaran yang terjadi di Kairo Mesir, Tunisia, dan lain-lain belakangan awalnya digerakkan oleh diskursus untuk menghadirkan iklim demokrasi atau perbaikan pemerintah di negaranya yang dipandang bobrok yang dihimpun—dan pun akhirnya disepakati—dalam tweets atau ‘ocehan-ocehan’ kritis di Twitter. Maka, Twitter di sini kemudian menjadi ‘mainstream’. Seperti yang dikatakan Ban Ki-moon, Sekjen PBB baru-baru ini dalam berita Amnesty International via Twitter: @amnesty Ban Ki-moon: World’s dictators more scared of tweets than opposing armies. Atau barangkali komentar sastrawan dan esais seperti Goenawan Mohammad terhadap media maisntream menjadi contoh menarik, dan mungkin ini awal mula bagi mereka yang enggan lagi menengok media massa nasional untuk menciptakan media mereka sendiri. Dalam tagar (hastag) berita nasional, GM mengatakan: @gm_gm nggak dibaca penasaran, dibaca bikin mual… #beritanasional.

Dalam konteks zine, Vantiani sebagai pelaku dan pengamat zine di Indonesia, ia mengatakan bahwa,

” … dengan semua kebebasan yang dimilikinya pun, zine ternyata tetap pada akhirnya mengalami seleksi alam yang pada dasarnya sama dengan media-media cetak di luar sana (media mainstream). (Sebab) zine-zine yang dianggap sangat berpengaruh dan inspirasional sejak mulai masuknya di Indonesia (pada) awal 1990-an hingga sekarang adalah zine-zine yang dibuat dengan pengerjaan yang serius, mulai dari isi, tata-letak, desain, dan juga distribusinya” (Vantiani, 2010).

Vantiani mencontohkan fanzine musik Tigabelas yang dibuat oleh Arian dan Ucok. Fanzine yang terbit pertama pada Agustus 1998 mengenai musik politik merupakan menjadi fanzine pertama dalam topik itu. Dalam setiap edisinya, fanzine setebal 60 halaman ini sdah memiliki desain sampul, lay out, dan kolom yang membuatnya ‘stand out’ (atau berciri lain) dari semua zine kala itu, dan barangkali masih yang tertebal hingga sekarang (Vantiani, 2010).

Menurut para penggemar Tigabelas, zine ini teristimewa lantaran isi dapat membius dan menyihir para pembacanya untuk menggemari topik dan musik yang mereka wacanakan dalam zine itu, kendati sebelum membaca zine ini mereka sama sekali tidak berminat pada tema-tema musik politik. Akan tetapi, yang menarik adalah zine sama sekali tidak diperjual-belikan, ia bebas didapat. Obesesinya hanya pada aspek keterbacaan isi zine itu sendiri. Dengan demikian, kita bisa lihat berlaku lagi proposisi ‘media alternatif’ sebagai sesuatu yang relatif, karena terdapat dualisme di sana. Pertanyaannya lagi-lagi, apakah zine merupakan media alternatif atau media mainstream? Menurut saya tidak selalu, tergantung dari mana cara kita memandangnya. []

 

Referensi

Anderson, Terri L. 2011. “Zines.” Encyclopedia of Social Networks. Ed. George A. Barnett. Thousand Oaks, CA: SAGE. 981-82. SAGE Reference Online. Web. 10 Apr. 2012.

Atton, Chris. 2002. Alternative Media. London: Sage.

_____. 2010. “Zines.” Encyclopedia of Social Movement Media. Ed. John D. H. Downing. Thousand Oaks, CA: SAGE. 566-68. SAGE Reference Online. Web. 10 Apr. 2012.

Boellstorff,Tom.2004. “Zines and Zones of Desire: Mass Mediated Love, National Romance, and Sexual Citizenship in Gay Indonesia,” Journal of Asian Studies 63 (4):159—195.

Creeber, Glen. 2009. “Digital Theory: theorizing New Media,”dalam Digital Cultures: Understanding New Media, Glen Creeber dan Royston Martin. Hlm. 11—22. Milton Keynes: The Open University.

Ekeh, Peter P. 1974. Social Exchange Theory: the two traditions.London: Heinemenn Edu. Books.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation,”dalam Representation: Cultural Representations and Signifiying Practices, Ed.Stuart Hall. Hlm. 13—64. Milton Keynes: The Open University.

Mas’oed, Mohtar. 2011. “Untuk Apa Negara? Renungan Akhir Tahun tentang Tanggung Jawab Penyelenggaraan Publik,” Naskah pidato disampaikan pada Rapat Terbuka dalam Rangka Peringatan Dies Natalis ke-62 Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, 19 Desember 2011.

Mohammad, Gunawan. 2011. “ …… “, rubrik Catatan Pinggir, Tempo.

Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-structuralism and Postmodernism. Athens: The University of Georgia Press.

_____. 2002. Identity, Culture & The Postmodern World. Edinburg: Edinburg University Press.

Solihin, Lukman. 2008. Koran Merapi dan Pembaca: Sebuah Etnografi Surat Kabar Populer di Yogyakarta. Naskah skripsi Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.

Vantiani, Ika. 2010. “Zine, media tanpa mesti yang mesti dimaksimalkan lagi,” makalah workshopPenulisan Kritik Seni Rupa, @ruangrupa, Jakarta 17 Juni 2010.

Twitter

@amnesty, akun resmi Amnesty Internasional di media Twitter

@gm_gm, akun resmi Goenawan Mohammad di media Twitter


[1] Esai ini sebenarnya masih sangat spekulatif—meski tidak bisa juga dikatakan asal—lantaran Zine saya pahami dari teks yang saya dapatkan, bukan dari yang saya jumpai di ‘lapangan’. Saya sendiri tidak terlibat dengan komunitas atau person yang bergiat di “ke-zine-an”. Namun, mulanya saya tertarik dengan bahan diskusi dari Mbak Ika Vantiani tentang Zine saat Workshop Penulisan Kritik Seni Rupa dan Budaya Visual di ruru pada Juni 2010 lalu. Zine di mata saya sangat asing, sangat liyan. Sehingga, kala itu banyak oret-oretan yang saya tulis kala diskusi, dan baru kali ini saya sempat untuk menuliskannya dalam format esai sederhana. Saya berharap banyak untuk mendapat komentar, sanggahan, pandangan dari kawan-kawan pembaca tulisan ini untuk kemudian dapat saya gunakan untuk menyempurnakan tulisan ini.

[2] Sayangnya, sampai esai ini selesai ditulis saya belum berhasil menemukan judul artikel Catatan Pinggir yang memuat pernyataan ini dan juga di edisi Tempo yang mana, kecuali tahunnya yaitu tahun 2011.