Duduk. Termenung. Terdiam di suatu sudut. Terhanyut dalam hitungan-hitungan tak terhitung, merangkum rasa setahun kemaren.
“Mon, Jan 31”, sebuah pengingat di layar depan ponselku. “Hah, sudah selesai Januariku?” batinku. Padahal aku baru 2 kali menulis #30haribercerita.
Januari seringkali menjadi spesial untukku, karena selain di bulan ini aku lahir, bulan ini juga menjadi bulan pembuka tahun. Tapi, Januari kali ini terlalu padat rasanya, riuh-riuh-riuh, ramai, terlalu cepat berlalu.
They said “age is only a number.” (oh, really?)
Tapi untukku, tak hanya itu. Khususnya di usia-usia yang tak lagi muda, umur juga melambangkan harapan-harapan yang masih bisa diusahakan, atau yang harus diikhlaskan, memori-memori yang hilang karena tak lagi penting untuk diingat, atau sesepele bertambahnya anggaran perawatan kulit karena enggan dipanggil “budhe”.
Mujur dikata, aku telah melewati 36 tahun hidupku. Kalau dibilang, cukup lama rasanya untuk berada di usia ini dan ternyata tidak seperti yang pernah ku bayangkan dulu. Alih-alih stabil seperti lamunanku dulu, saat ini bisingnya isi kepala membuat semua serba naik-turun.
Uban-uban yang muncul kadang membuatku risih. “Terlalu dini, ah!” batinku. Begitu juga kerutan-kerutan yang mulai muncul. “Rani jangan gitu kalau difoto, jadi kelihatan kerutannya.”
Ternyata, ada hal-hal yang tak bisa lagi kucegah, atau lebih tepatnya tak bisa diusahakan lebih. Ada juga yang harus diterima tanpa harus dipertanyakan.
“Sudah, sedih boleh, senang boleh, bersyukur itu wajib, jangan larut,” kataku di depan laptop sambil memandang samar kantung mata yang terpantul dari layar.
__
“Silakan Kak, espressonya,” suara lembut mempersilakan.
“Terima kasih,” sambutku sambil tersenyum.
#ageisnotjustanumber