Author Archives: ranivito

Meromantisasi Hidup

Ada kalanya kita perlu memanggil memori yang jauh sekali tertinggal, sekedar untuk menyadari bahwa waktu tak bisa kembali. Teman, sahabat, cinta yang hilang, tawa yang masih tertinggal, dan semua suka-luka yang telah terlewati. Gelora yang dulu membara menjadi api yang tenang dan menghangatkan. Jutaan potongan film yang telah merangkai hidup, menjadi sebuah refleksi yang membantu kita melanjutkan hidup. Untuk yang sedang bersedih, akan terus memperjuangkan bahagianya, untuk yang berbahagia, akan terus menjaganya.

Lagu ini tiba-tiba lewat di radio dan membuat saya terbang ke puluhan tahun yang lalu. Frame-frame masa remaja hingga dewasa lewat begitu saja. Bagaimana masa-masa “lucu” dan “berat” terlewati, sampai di titik ini. Sore yang syahdu dengan hujan rintik-rintik sambil meromantisasi hidup, ah, mendamaikan juga ya.

 

 

โ€œMore smiling, less worrying. More compassion, less judgment. More blessed, less stressed. More love, less hate. Happiness is all the way. Grateful.โ€

Selamat ulang tahun, pangeran kecilku.
Terima kasih sudah hadir di dunia, dan menjadi sahabatku di segala situasi.
Banyak doa dan energi baik untukmu selalu.

 

Mencintai Saja Tidak Cukup

“Mencintai saja tidak akan cukup.”

Tentu saja, sebuah kalimat tidak akan cukup untuk membuatnya (nampak) nyata. Itulah mengapa di semua lini hidup banyak orang menanyakan tentang cinta, karena memang (hampir) semua hal melibatkan perasaan untuk dapat lebih “sempurna”.

“Apakah kamu mencintai pekerjaanmu? Kalau memang kamu cinta, kamu akan melakukan banyak hal untuk membuat pekerjaan ini berhasil dengan baik, seperti kamu melakukan segala hal untuk mendapatkan dia.” ๐Ÿ™‚

Kopi dan Cerita

6 tahun bergelut di bidang yang tak pernah “dipelajari” membuat saya belajar banyak. Kehilangan beberapa “comfort zone” dan mendapatkan beberapa “comfort zone” lain. Sulit menilai diri sendiri, ya? Karena saya sendiri tidak pernah bisa mengkategorikan saya introvert atau ekstrovert. Saya cenderung tidak bisa terlalu lama dengan banyak orang, tapi bisa cukup lama berbincang dalam konteks substansi, saya suka public speaking dalam bentuk presentasi tapi kurang suka “public speaking” yang tidak kontekstual.

Sedari SMA saya cukup banyak mengikuti lomba presentasi, pidato, maupun debat. Kegiatan-kegiatan itu cukup membuat saya “terbentuk” karena di sana selalu ada konteks yang disampaikan. Sesuatu yang real, data, fakta, bukan “marketing” semata. Melebur bersama didikan rumah (yang selalu menomorsatukan fight & honesty), lama kelamaan itu menjadi sebuah karakter.

Kaitannya dengan kopi adalah ketika saya membuka ruang-ruang diskusi dalam bentuk slow bar event yang sudah 3 tahun ini rutin diadakan. Pada setiap kesempatan saya berbincang dan berdiskusi, saya selalu berusaha untuk memberikan data dan fakta walau kerap kali terbantah dengan rumor. Merangkum berbagai cerita dan pengalaman yang sudah dilalui oleh pelanggan-pelanggan saya, saya merasa ada banyak hal-hal sosial yang ada dalam secangkir kopi lebih dari sekedar komponen empiris dan senyawa dinamis yang ada di kopi.

Dari secangkir kopi dan diskusi sensory di meja slow bar, saya mendapat cerita bagaimana awalnya mereka kenal kopi, kesan yang mereka dapat ketika merasakan flavor kopi yang tersaji, memori masa kecil, perubahan budaya yang dibawa oleh kopi dan masih banyak lagi. Seringkali saya ditanya “Apa yang Mbak harapkan dari sesi-sesi ini?”. Jawaban saya tegas, bahwa saya hanya ingin orang makin penasaran dan suka minum kopi. Bukannya apa, saya bukan tidak ingin para pelanggan slow bar kembali sebagai pelanggan reguler, tapi lebih dari itu, industri ini harus terus bertahan secara global. Semakin banyak orang “bahagia” ketika minum kopi, maka dia akan terus mengapresiasi rantai kopinya. Karena apa? Saya sendiri sudah pernah putus asa sama industri F&B ini, mungkin yang lain pun sama. Lalu apa? Jika kecintaan orang dengan hal-hal dasar ini tidak dipupuk, maka akan lebih sulit lagi buat industri ini bertahan. Walau saya seorang yang mungkin punya sertifikasi Q Grader, tapi saya juga tetap mengapresiasi semua level kopi kok. Bahkan dari biji komersial di pasar, banyak orang bisa bertahan hidup dan itu realita sosial yang perlu kita apresiasi dan rawat bersama.

“Saya di sini hanya ingin memberikan jendela sudut pandang yang lebih luas tentang kopi, tanpa mengharuskan para pelanggan saya minum di kedai tertentu atau kopi tertentu. Semoga teman-teman lebih cinta sama kopi ya dan siap eksplorasi kopi lebih luas lagi.” kalimat penutup saya di setiap sesi.

Last but not least, selamat ngopi! ๐Ÿ™‚

Mamanya Cah Konser, Anaknya Susah Vibing

Cerita lucu dari konser semalam. Yap, saya memang seseorang yang cukup menikmati konser/live music. Genre saya pun sangat lebar, dari musik bernada groove, ska, slow rock, pop, jazz, techno, r&b, bahkan dangdut koplo pun saya masih bisa menikmati.

Ini ketiga (atau empat) kalinya saya ajak Ken untuk nonton konser. Sengaja saya ajak untuk bisa mengenalkan dia sama hiruk pikuknya konser dengan keramaian yang beragam. Di konser pertama, seingat saya artisnya mix Bilal Indrajaya (yang slow abis) sampai Fvstvlst yang moshing penontonnya. Di konser pertama dia gagal vibing. Dia hanya duduk di pinggir sambil makan jajan.ย Konser kedua di Prambanan dengan bintang utama Once, sedikit menikmati, tetap kalem tapi karena memang lagu-lagunya juga kalem, jadi ya udah lah ya.

Nah, harapannya di konser ketiga ini, Ken sudah bisa lebih vibing ya, karena kebetulan kami nonton berbanyak, sama sepupu-sepupunya juga. Tapi herannya, dia tetap dong ssooo flaattt. Malah lucunya lagi keluarlah celetukan-celetukan yang tidak terduga.

Pertama, ketika sang MC (Alit Jabang Bayi) mengadakan kuis lomba makan wafer di atas panggung. Celetukan sang MC yang super lucu dengan guyonan jowo lawas ini jelas bikin mamanya tidak berhenti tertawa. Saya lirik anak ini, ternyata dia biasa aja, senyum pun tidak. “Oh mungkin nggak paham bahasa jawa”, pikir saya.

Nah tibalah sang MC bilang ke peserta “Yo le mangan entuk karo lungguh, boleh sambil duduk!” eh lha kok nyeletuk juga “Ya, adab makan kan memang harus duduk!”. Spontan Mamanya ketawa lebih keras lagi. Ealah Le, kok serius banget.

Moment kedua lebih bikin tertawa yaitu ketika kami maju mendekati panggung saat Changcuters manggung. Band satu ini memang selalu enak buat jingkrak-jingkrak. Mamanya (yang masa mudanya kurang jingkrak-jingkrak) sudah gobyos loncat-loncat sambil nyanyi ini berusaha banget biar si anak ikut vibing. Mulai dari ngajak tepuk tangan di atas, sambil loncat-loncat sambil pegang pundak dia. Gagal dong tentu saja! Nah kebetulan nih ada lagu yang liriknya “Please please don’t leave me, ku tak bisa hidup tanpamu!” Mamanya ngide dong buat nyanyiin ke Ken sambil liatin dia dan jawil pipinya, eeeehhh kok jawabannya “Nggak bisa hidup tuh tanpa Alloh Ma”. Hahahahahaa!

Duh Nak, Mama sedang asik-asik nyanyi lho ujug-ujug bawa agama, hahahaha. Toloonng, nurun siapa ini? Jelas bukan Bapaknya, apalagi Mamanya.
Tenang, Mama belum menyerah, besok Mama ajak lagi ya! ๐Ÿ˜€