“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan”
Begitulah sedikit cuplikan dialog dari film “?” (baca: Tanda Tanya) karya Hanung Bramantyo yang baru saja dirilis pada 7 April 2011 lalu. Film ini mengisahkan kehidupan masyarakat di sebuah kampung di daerah Semarang, Jawa Tengah dengan tiga tempat ibadah agama yang berbeda (gereja, masjid dan klenteng) dalam jarak berdekatan. Perbedaan keyakinan, budaya, serta konflik pribadi menjadi inti dari cerita dalam film ini yang dikemas dengan cukup berkualitas, realistis, sekaligus menarik dan cukup menghibur.
Berkualitas dan realistis
Tidak seperti film Indonesia kebanyakan saat ini, film Tanda Tanya “?” memberikan nilai pembelajaran yang cukup penting untuk disampaikan kepada para penontonnya. Diambil dari kisah nyata kehidupan beragama di Indonesia, film ini menyuguhkan sesuatu yang bisa kita bilang “fresh from reality”. Kenapa? Dalam film ini penonton dibukakan mata dan hati mereka untuk melihat secara objektif tentang beberapa hal yang mungkin sudah luput dari perhatian kita selama ini.
**Sebagai catatan: dalam opini saya, terlalu banyak racun yang setiap hari disuguhkan berita-berita televisi dan surat kabar, yang terkadang hanya mengandalkan 1-2 nara sumber (yang kadang justru menyesatkan), dan dengan pandangan sempit, negatif, bermuatan politik, bahkan bermuatan ekonomi -agar beritanya “laku” dipasaran!- sungguh menjadi racun otak dan penghasut yang mustajab bagi masyarakat kita (karena tak dipungkiri, sebagian besar masyarakat kita mengambil mentah-mentah apa yang dilontarkan si narasumber yang tampil di layar kaca, tanpa mau mencari informasi lebih dalam).
Mengapa saya menilai film ini berkualitas dan realistis?
Pertama, dalam film ini ditunjukkan bahwa konflik yang terjadi di berbagai daerah tidak disebabkan oleh faktor tunggal belaka. Banyak variabel sekunder yang jarang diperhitungkan, yang “nunut” dalam peristiwa-peristiwa tersebut, seperti faktor politik, dendam, ekonomi, dan bahkan faktor cinta. Faktor-faktor itu akan selalu ada (takkan bisa dihilangkan) dan absurb di dalam sebuah kehidupan bermasyarakat yang kompleks. Dari nilai ini, masyarakat diharapkan paham bahwa hujatan-hujatan dan sumpah-serapah berlebihan terhadap suatu kelompok/pihak/orang/hal tunggal bukanlah hal yang bijak. Karena tidak mustahil, sang faktor sekunderlah yang justru menyulut terjadinya konflik.
Kedua, ada adegan di mana dua orang pemerannya berpindah agama berdasarkan keyakinan hati mereka masing-masing. Adegan ini memberikan penekanan bahwa hak-hak setiap individu untuk memilih, tak perlu diperdebatkan, apalagi dipermasalahkan. Dalam ajaran agama pun sebenarnya hal ini sudah memiliki dasar, seperti ayat yang ada dalam Al Quran di bawah ini, hanya saja individu-individunya terkadang tidak memahaminya, tidak menjalankannya, atau tidak memedulikannya atau bahkan tidak mengetahui sama sekali!.
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (Al-Kafiruun:6)
**bahwa perbedaan itu memang akan selalu ada, dan hak itupun melekat pada setiap individu, mengapa harus memaksakan keseragaman yang mustahil sampai-sampai menimbulkan perpecahan?
Ketiga, perbedaan antarkomunitas beragama dan antarindividu memang nyata adanya dan kerap menimbulkan konflik yang pelik, bahkan terkadang hingga menimbulkan perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah yang menelan korban. Namun, di film ini penonton disodorkan harapan baru bahwa hal-hal tersebut ternyata TIDAK MUSTAHIL untuk tidak terjadi. Dan penonton pun bisa paham bahwa toleransi dalam masyarakat yang hetero adalah mutlak. Wajib dan harus, tidak bisa tidak! Jika kita mendambakan kehidupan yang damai.
Menarik dan menghibur
Singkat kata, dalam opini saya, Hanung Bramantyo memang pandai mengemas film ini agar tetap menarik dan memunculkan unsur hiburan di tengah-tengah bobot cerita yang cukup berat. Celotehan-celotehan Surya yang diperankan oleh Agus Kuncoro merupakan salah satu “kunci” munculnya tawa dalam film ini. Gelak tawa terus terdengar dalam ritme tertentu sepanjang film ini diputar. Sungguh menarik! Walaupun tidak dapat dikatakan sempurna, namun perpaduan yang dituangkan dalam film ini cukup menjadikan film ini patut ditonton oleh masyarakat Indonesia dan patut masuk dalam kategori film “bermutu” dalam daftar panjang film Indonesia. []
hey nice share sista…will see it soon ^__^
Aku belum lihat filemnya, Ran. Hahahaha… yang pasti sebagai film ini menyuguhi sesuatu yang riil dalam kehidupan sosial di masyarakat kita, jadi rasanya terlalu berlebihan kalau MUI sampai mau mengharamkan segala.
@Lanny, Thanks sista! cepetan nonton sebelum di tarik dari peredaran hehe..
@Amung, iya Mung, aku pun merasa agak berlebihan jika diharamkan. Karena aku melihat dalam masyarakat kita yg hetero ini, film ? justru bisa memberikan pelajaran buat kita. Jika dilihat dr sisi negatif trs, kapan orang mau berlajar? nilai positif yg (mungkin) lbh besar jadi tak terlihat lagi.. Nonton deh Mung.. and let see your opinion 😉
pengen nonton filmnya, tp blm2 ksampe’an.. he…
Ayo ditonton Rian! bagus lho.. sebelum hilang dari peredaran hehehe.. 😀
aku udah nonton. memang bagus dan berkualitas. bingung kenapa masih ada aja yg bilang film ini sesat. lam knal ya…rani. aku mau follow dimana ya? oya, mampir dong ke blog aku juga. hehe
Halo Rahma! salam kenal juga 🙂
Iya, mungkin karena sudut pandang orang dalam melihat sebuah objek berbeda-beda, dan beberapa gelintir orang tersebut memandang dari sudut yang sangat sempit. Tapi menurutku perbedaan pendapat itu gak masalah, justru membuat kita belajar memandang dari sudut yang lain.. 😉
Sorry, follow apa ya? kl twitter ada di @runnee, kalo FB ada di Rani Ariana – ada beberapa dengan nama sama, tp yang beneran cuma 1 kok, yang lain sepertinya fiktif.
Thanks udah mampir ya! 😀
Wah ulasan yang menarik, makin berbobot aja nih tulisannya… jd pengen nonton nih film, sekedar untuk melihat cakrawala kehidupan di Nusantara ini… 🙂
Wah, aku kok sampe kelewat blg makasih sama Mas Oedi’ ya 😀
Gimana? jadi nonton film ini? so apa pendapat Anda? 🙂
Sangat telat bagiku untuk berkomentar, jujur aku bukan penggemar film Indonesia, karena tak sekreatif industri film hollywood, dan film ini adalah salah satu film yang g pengen aku tonton, alesannya simple, apapun itu dikondisi nyata atopun fiktif, hatiku g sampai melihat seorang yang keluar dari Islam… Meskipun dan kalaupun hanya sekedar cerita bualan semata, g tega rasanya ada saudara seiman yang memilih jalan lain.