Category Archives: Mimpi

Sekeranjang Harapan…

26 tahun sudah saya hidup. 5 tahun bercita-cita menjadi seperti Mama (a “Home-Maker” not “House Wife”!), 7 tahun ingin menjadi dokter, 4 tahun terobsesi menjadi psikolog, 2 tahun berminat pada komunikasi media, 2 tahun mencoba menjadi IT programmer, dan 6 tahun bermimpi menjadi wedding planner.

Tapi lepas dari semua perjalanan mimpi dan cita itu, tujuan hidup saya sederhana, ingin menjadi anak yang (baik dan) membanggakan untuk kedua orang tua saya, menjadi istri yang (baik dan) mengagumkan bagi suami saya, dan menjadi Ibu yang (tangguh dan) dapat menginspirasi anak-anak saya kelak. Tujuan yang sangat umum, bukan? Ya, memang. Tapi saya benar-benar memaknainya.

—-

 

“..Jika semua hancur, impian itulah yang tersisa. Dan impian tidak dapat dihancurkan oleh kekerasan apapun juga..” – Sindhunata , Merapi Omahku.


 

Dunia boleh saja terus berputar, teman-teman datang dan pergi, jatuh cinta dan patah hati, juara kelas dan angka merah di rapor, atau sekedar teriknya matahari dan mendungnya langit. Tapi entah mengapa saya terus enggan terbangun dari mimpi-mimpi saya yang belum kunjung terwujud.

 

Disinilah semua berawal..

Setiap orang memiliki mimpi. Mimpi yang ia dapat dari apa yang dia lihat, apa yang dia pelajari, apa yang ia sukai, apa yang dipandangnya sebagai sosok “sukses”, apa yang ditanamkan orang-orang terdekatnya, dan bahkan beberapa mimpi hadir dari sebuah trauma. Menjadi penulis, aktor, dosen, sutradara, ibu rumah tangga, PNS, dan lain sebagainya, adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk memimpikan dan mewujudkannya, pilihan untuk mengejarnya atau membiarkanya larut dalam tidur panjang.

Itu juga yang terjadi pada saya. Saya punya banyak mimpi dari apa yang saya lihat, pelajari dan sukai, dari apa yang orang tua saya tanamkan, dan dari permasalahan yang saya hadapi.

Mama. Sosok wanita yang bukan pekerja kantoran, selalu ada di rumah ketika saya pulang sekolah, selalu memasak hidangan yang enak, dan selalu membuat rumah saya rapi dan nyaman, membuat saya dan kakak-kakak saya selalu merindukan untuk ‘pulang’ ke rumah.  Hmm, rasanya tak ada sosok yang lebih sempurna daripada Mama pada saat itu. Apalagi ketika saya membandingkan dengan Ibu tetangga sebelah rumah. Dia seorang wanita karir dengan 2 anak yang super nakal dan rumahnya yang selalu seperti ‘kapal pecah’.

“Neraka”, pikir saya.

Jadilah satu kesimpulan pada saat itu, aku hanya ingin seperti Mama.

Saya lakukan apapun, karena saya pernah tak tau..

“Tak perlu berjalan menghindari kubangan, ataupun berkeras memotong kompas dan melawan arus. Karena kau takkan tau pernah tau jalan mana yang akan membawamu kepada mimpi-mimpimu”

Percaya atau tidak, buat saya hidup ini penuh dengan kejutan, sehingga saya berfikir bahwa tak baik jika saya mematok diri ini (terlalu obsesif) hanya pada satu hal  atau keadaan yang menjadikan saya mengabaikan hal-hal diluar tempurung saya dan menutup peluang lain dalam hidup saya. Saya berfikir bahwa saya akan menjadi terlalu sombong jika saya menutup mata terhadap peluang-peluang yang hadir di hidup ini, walau terkadang itu tak sesuai dengan apa yang saya harapkan.

Walau saya bukan berasal dari keluarga yang sangat berkekurangan, saya memang selalu merasa membutuh uang tambahan untuk alasan pemenuhan kebutuhan sekunder (berorientasi pada hobi dan modal pewujudan mimpi) dan kebetulan saya bukan tipe yang merengek pada orang tua untuk meminta ‘modal’ kesenangan itu. Karena itulah saya berusaha sendiri untuk dapat memenuhinya sendiri.

Tak banyak yang tau perjalanan saya. Sebelum pekerjaan yang saya jalani sekarang, saya pernah menjalani banyak ‘profesi’. Jika saya ingat-ingat lagi, setidaknya ada 16 profesi yang pernah saya coba jalani dalam 6 tahun belakangan ini. Saya pernah menjadi asisten dosen, pengajar praktikum, menjadi dosen tamu, marketing pada perusahaan kimia, web programmer lepas, IT associate di kampus, sales komputer, penjual baju, penerjemah naskah wawancara, penerjemah bahasa, pembuat parcel lebaran, pembuat seserahan, makelar, investor ternak ayam, buruh PCO, bahkan pernah pula menjadi penjual makanan (kering tempe, pukis, poffertjes, gorengan, bitterballen).

Hmmm.. Jangan dikira profesi-profesi itu mengenakkan! Banyak kejadian yang tidak menjengkelkan ataupun menyedihkan yang saya alami. Mulai dari pertengkaran dengan pelanggan atau rekan kerja, kerugian, kegagalan penjualan, jam kerja lembur yang ‘keterlaluan’, terpaksa kerja dalam keadaan sakit, menghadapi preman pasar dan lain sebagainya. Tapi dari situlah mental saya terbentuk untuk (setidaknya sedikit lebih) ulet, lebih tangguh, lebih tahan banting, lebih menghargai hidup dan lebih bersyukur.

Almost immposible …but most probable!

Beberapa ’profesi’ itu sempat saya jalani bersamaan. Semenjak saya berkerja pada tempat kerja saya saat ini, saya memiliki jam kerja rutin dari pukul 8.30 pagi hingga 5 sore. Malam hari saya memasak pesanan makanan, berjualan, menerjemahkan, menyusun parcel atau melakukan pekerjaan sampingan lainnya, dan masih dilanjutkan lagi di pagi harinya. Keadaan itu semakin parah ketika saya harus bekerja lembur di kantor karena adanya proyek tertentu. Terkadang saya merasa tubuh ini tak mampu, tapi ternyata kekuatannya ada di hati. Niat dan semangatlah yang mengendalikan energi untuk menjadikan kita ‘mampu’ menjalani beratnya sebuah perjuangan.

Sempat putus asa karena gagal dari satu usaha ke usaha lain. Tapi benarlah kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Setiap kali saya kehilangan satu harapan, maka tiba-tiba datanglah “sekeranjang” harapan baru. Ya, sekeranjang! Selalu sekeranjang. Mengapa saya katakan sekeranjang, dan bukan setangkup, sekarung, ataupun sejuta? Karena bagi saya sekeranjang adalah cukup dan tidak muluk-muluk. Tapi dari keranjang itulah saya boleh berharap lebih untuk bisa mewujudkan mimpi saya.

Semua orang bisa melihatnya di mata saya ketika saya berapi-api membahas semua yang berhubungan dengan pernikahan. Tak terkecuali! Keluarga, rekan kerja, kekasih, teman main, dan bahkan orang-orang yang baru mengenal saya. Ini bukan (hanya) karena saya memimpikan sebuah pernikahan, tapi karena saya memang menyukainya. Mulai dari mengkonsep acara, mendesain, mencari pengisi acara, merangkai dekorasi, menyusun seserahan, dan semua hal yang masih berhubungan dengan ‘wedding’.

Beberapa tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku kuliah, saya memang gemar sekali bermain-main dengan pita, kain, kertas kado, dan susun menyusun parsel. Ya, hanya sekedar hobi yang saya lakukan bersama kakak-kakak saya. Terkadang kami membuat kartu ucapan lebaran dengan berhiaskan pita dan menjualnya di bulan puasa, atau menerima pesanan parcel dari kerabat dekat. Dimulai dari hal kecil itulah saya mulai menyukai hal-hal serupa yang cakupannya lebih luas.

Pada tahun 2007, kakak saya yang berdomisili di Jakarta berencana untuk menikah. Karena pernikahan tersebut akan diselenggarakan di Yogyakarta (dan dia di Jakarta), dia mempercayakan semua tetek bengek pernikahannya pada saya. Dengan hati berdebar, secara spontan saya menyanggupi tawaran itu, dan sejak itulah saya merasa bahwa ‘wedding things adalah duniaku’.

Acara pernikahan itu berjalan baik, walau tidak bisa dikatakan sempurna. Berbekal kerabat yang saya kenal, kami berhasil membereskan souvenir, dekorasi rumah, gedung, catering, dokumentasi, pengisi acara, MC dan lain sebagainya. Girangnya bukan main ketika banyak tamu yang menanyakan siapa yang menyusun acara itu, siapa yang mendekor, dan siapan pemilik ide dibalik semua acara tersebut. Kami (saya dan rekan-rekan) langsung berniat mencari nama perusahaan, mengumpulkan modal dan membuat kartu nama agar bisa mempromosikan tim kami. Dengan kobaran semangat, kala itu kami mengharapkan bisa melanjutkan profesi baru kami sebagai Wedding Organizer.

Namun kenyataan berkata lain. Setelah acara itu selesai, selesailah pula pembicaraan kami tentang profesi baru kami tersebut. Kesibukan kami membuat kami tak lagi bertemu. Harapan-harapan yang sekejap datang itu pun sirna, rekan-rekanku melanglang buana entah kemana, dan sulit sekali untuk kembali duduk bersama, sampai-sampai saya berfikir itu tak mungkin lagi.

Sendiri.

Itulah kondisi saya setelah proyek kecil itu. Tak mungkin, impossible saya menjalaninya itu sendiri. Sulit sekali menemukan rekan dengan visi dan misi yang sama. Tapi… apakah ada hal lain yang membuat saya lebih berbinar-binar selain hal tersebut? Tak ada. Hanya hal itulah yang secara konstan membara dalam diri saya, sehingga hanya hal itulah yang paling mungkin untuk saya jalani. It is the most probable thing i can do.

Hampir putus asa rasanya. Tak punya modal, tak punya rekan, tak punya jaringan. Dan pada suatu masa saya merasa harus menimbun mimpi itu dengan kenyataan. Saya menjalani apa yang ada di hadapan saya dan mencoba tidak terlalu memikirkannya hingga suatu hari di tahun 2008 saya menerima pemesanan parcel lebaran yang tak seberapa banyak. Project kecil dengan untung kecil itu membuat saya kembali membuka koleksi gulungan pita, kain, kotak kado, alat-alat jahit menjahit, majalah, buku, selebaran, yang dulu saya kumpulkan di tahun 2007. Sedikit menyegarkan, tapi tapi ternyata hanya sesaat. Semua lalu terhenti lagi karena berbagai kesibukan kuliah di akhir 2008 dan pekerjaan di tahun 2009 hingga pertengahan 2011.

Pada akhir 2011, tanpa sengaja saya menerima satu pesanan parcel dan satu paket seserahan kerabat dekat saya. Senang bukan kepalang dengan proyek dadakan ini. Walau masih jauh dari profesi wedding organizer, namun setidaknya ada bagian kecil yang menghubungkan saya dengan profesi itu, dan itu sudah cukup menghangatkan jiwa saya dan membuat semangat saya berkobar! Sejak saat itu saya mulai mencoba menekuni perjuangan saya untuk kembali meraih mimpi. Saya mulai menawarkan jasa saya pada lingkaran kerabat terdekat dan Alhamdulillah sedikit-demi sedikit kepercayaan diri saya mulai tumbuh kembali.

“Pasti bisa!!”, ucap saya berulang kali dalam hati.

Maret 2012. Saat ini saya telah menikah dengan seseorang yang luar biasa mendukung mimpi-mimpi saya. Saya masih menjalani pekerjaan saya dan menerima proyek-proyek kecil lain yang Alhamdulillah masih berdatangan. Saya (kami) menjalaninya dengan senang hati. Entah kapan, dream a little dream, soon or later, sampai kapanpun, saya akan tetap bermimpi dan takkan berhenti untuk berusaha mewujudkannya.

Alloh tau, dan Dia pasti akan membantu kami!! Amin.

when you really want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.” – Paulo Coelho, The Alchemist.

Inilah keranjang mimpiku! Bagaimana dengan keranjangmu? 🙂