35 tahun.
Terlalu singkat untuk belajar tentang hidup, tapi
terlalu lama untuk (sekedar) memikirkannya. Ah, kadang aku sendiri tertawa. Hidup
tak seindah cerita pada buku-buku novel yang aku baca ketika remaja. Hidup itu
lucu! Selalu bercanda, dan seringkali melewati porsinya.
Terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang
berubah. Fase-fase hidup yang tak pernah ku tau, bagian mana yang terbaik di antaranya.
Setiap bagian menuai bahagia, sedih, kecewa dan traumanya sendiri. Tak pernah
ingin mengulang yang telah berlalu, pun tak berani (lagi) mendambakan idealnya
masa depan.
35 tahun.
Kapan ya aku benar-benar “merasakan” hidup? Sepertinya
aku lebih banyak menangisi cinta yang hilang, melamunkan pernikahan yang
sempurna, terlena dengan kata “selamanya”, terlalu sibuk menyusun
“kriteria-kriteria” kebahagiaan dan kenyamanan atau sekedar bergulat teori
hitungan dan ramalan duniawi, tanpa ‘merasakan’ apa yang terlampaui.
Tapi apakah semua itu sia-sia? Atau itu adalah bagian
dari perjalanan sampai di titik ini?
Topik tentang hidup tak (akan) pernah lepas dari obrolan
panjang di sela-sela gelas kopi, di WhatsApp
chat tengah malam, atau bahkan cletukan di tengah rapat yang cukup serius. Dengan
fasenya masing-masing, perjalanan sebuah sudut pandang dan cara merespon hidup
terus berubah. Manusia memang diciptakan dengan logika, tapi benarkah semua
harus ada logikanya? Atau logika adalah jabaran jamak antara hal-hal nyata dan ghaib?
Jika indra manusia hanya mata, telinga, mulut, kulit, dan lidah, lalu hati ada
di posisi apa? Hati yang bisa merasa sakit, bahagia, kecewa, sedih, bangga dan
lain-lain?
35 tahun.
Banyak kejadian yang mungkin menjadi ‘turning point’ dalam hidup yang secara
ekstrim mengajariku banyak hal. Tapi dari semua hal yang mengiringi, perjalanan
yang paling panjang buatku adalah penerimaan diri. Penerimaan diri dari semua
kekurangan, dari segela kelemahan, trauma, ketidaksempurnaan dan apapun yang
dianggap (sebagian besar orang) sebuah ‘kecacatan’. Menerima diri sendiri dan
mencintai diri sendiri ternyata jauh lebih sulit. Begitu pula mengenal diri
sendiri, mengindentifikasi apa yang aku mau, apa yang aku butuhkan, pun
ternyata aku membutuhkan waktu cukup panjang. Aku mencoba berkenalan lagi
dengan diriku sendiri. Mulai dengan bercerita, bertanya, menjawab, dan
berkomunikasi monolog dengan diriku sendiri.
35 tahun.
4 tahun diantaranya aku menjalani hidup sebagai Ibu
tunggal. Perjalanan yang tak pernah aku duga akan terjadi padaku. Seperti pada umumnya,
di masa mudaku, aku selalu mendamba sebuah kehidupan pernikahan yang begitu
membahagiakan, sampai akhirnya realita memberikan jawaban “surga dunia itu tak
selalu dianugrahkan kepada semua pasangan”. Hal itulah yang akhirnya merubah pandangan
hidupku secara ekstrim.
Di awal perceraianku, aku mengira menjadi Ibu tunggal akan
menjadi peran paling berat di dunia. Peran dengan banyak penghakiman, penuh
perjuangan dan penuh tangis diantara peran-peran lain. Tapi, sekarang aku menyadari
bahwa aku salah besar. Bukan karena yang kusebutkan tidak benar adanya, tapi
lebih pada sempitnya sudut pandangku yang menempatkan diriku sendiri menjadi
orang paling menderita. Kenyatannya bagaimana? Ternyata setiap peran itu berat
dan perceraian tak selalu menjadi opsi terburuk dari akhir sebuah relasi
pernikahan. Ya, begitulah. Selalu ada duka, selalu ada perjuangan, dan selalu
ada tangis di setiap peran. Kita hanya bisa memilih antara duka, perjuangan dan
tangis mana yang mau kita jalani 🙂
Dalam 4 tahun terakhir, tak berhenti kudengar silih
berganti tangis keluhan dari peran-peran lain di sekelilingku. Tangis dari
istri yang bertahan pada pernikahan yangpenuh
kekerasan, tangis dari istri yang dikurun g suaminya, tangis dari istri yang
bertahan karena materi, dan berbagai ‘neraka’ lain dalam sebuah relasi. Lalu,
mengapa perceraian masih sering dianggap buruk? Bukankah setiap hati berhak
untuk memperjuangkan kebahagiaan?
My life is roller coaster.
Di tahun ke 34, seorang sahabat menanyaiku tentang
rasa sakit.
“Kamu takut merasa sakit?”
Jawabanku akan sama dengan manusia normal lain yaitu,
“Kalau aku bisa memilih aku akan memilih merasakan
bahagia”.
“Lalu kalau kamu merasa sakit (hati), apa yang kamu
lakukan?”
“Dirasakan.”
Di setahun terakhir, ya 2020, aku semakin memandang
bahwa hidup itu memang demikian adanya. Demikian dinamis, dengan segala suka
duka canda dan naik turunnya. Mungkin ini ya yang dinamakan hikmah dari pandemi
(?). Dunia diuji dengan begitu banyak ketidakpastian, kewaspadaan, ketakutan
dan kekawatiran. Begitu banyak yang harus dirasakan dan diikhlaskan. Senang dan
sedih seakan tak berjarak, terus menerus sepanjang tahun. Tapi bukankah hidup
memang demikian? Adakah cara yang lebih baik daripada merasakan setiap
detiknya?
“Nothing
is certain in this world.”
Namanya dunia, tak ada yang pasti. Karena itulah kejutan dan kekecewaan akan selalu bagian darinya. Di usiaku yang dulu, rumus-rumus kehidupan sering aku jadikan patokan. “Kalau aku berbuat baik, mereka akan baik kepadaku”. Ternyata hidup tidak begitu sayang. Selalu ada hukum alam yang tak pasti. Yang jahat pun tak selalu berbalas jahat, justru bisa jadi mereka mendapat banyak kebaikan sampai saatnya nanti mereka sadar karena itu. Lalu seadil apa dunia dijadikannya? Dari 1000 cerita, apakah ada yang sesuai dengan rencana kita?
Hal-hal itu banyak sekali merubah hidupku, baik yang
positif maupun negatif. Selalu bisa menerima ketidaksesuaikan, menjadikan aku
sosok yang tidak impulsive. Namun ternyata hal itu juga berimbas pada sisi
diriku yang lain. Toleransiku terhadap sesuatu juga menjadi terlalu luas. Sudut
pandangku hari ini, tak ada yang terlalu jahat, ataupun terlalu baik. Tak ada
yang berhak mendapat penghakiman mutlak di dunia karena kesalahannya, karena
tak ada yang benar-benar salah.
“Bukankah
kita semua punya rahasia yang disimpan rapat-rapat karena tidak ingin dihakimi
buruk oleh sesama?”, Wening 2020.
Kita semua, ya aku yakin semua, punya rahasia yang tak
pernah kita bagi karena penghakiman sesama terlalu mengerikan untuk
dibayangkan.
“Tak
(selalu) perlu sembuhkan luka, kau boleh sekedar lupa”
Luka hati, luka mental, luka hidup. Sama tapi beda
dengan luka fisik, sembuhnya tak kasat mata. Dulu aku selalu mengejar “sembuh”
untuk semua luka tanpa tau obat yang tepat.
“Everything
is temporary, nothing last forever.”
Apakah ada yang ‘selamanya’ di dunia ini? Relasi? Rasa
cinta? Masalah? Kesedihan?
Kalau ada yang selamanya, mungkin hanya sebagian dari
rasa sayang orang tua ke anaknya. Pun, ternyata banyak orang tua yang pada
akhirnya tak lagi mengakui anaknya. Lalu?
“To
feel nothing is something.”
Hidup di umur kepala 3, otak dan hati rasanya tak
pernah punya kapasitas yang cukup. Semua masuk tanpa permisi, minta segera
dipikirkan, dipertimbangkan, diputuskan, Kemudian berduyun-duyun pula memulai
aksi protesnya.
Serumit apa gejolak pententangan hati tentang ini itu?
Sebanyak apa luka hati yang belum berhasil disembuhkan?
Sesibuk itu merasa dan berfikir, kemudian letih. Yang didamba hanya tenang. Terkadang tidak merasa apapun juga menjadi sungguh sesuatu yang berharga.
“Feeling
peaceful is one of basic needs.”