Category Archives: Sastra

Sastra dan terkait

Menggantung

Menggantung, pikirku melayang
Terbang entah kemana
Tenang itu, gedub itu
Rangkai irama kedamaian

“Ini anugerah” katamu berbisik,
lalu tersenyum..

Tak bisa ku berkata
Terdiam di pelukmu

Ke masa yang lalu
Ketika rindu yang meradang
tak munculkan pilu

Adakah yang lebih merana
dari terpisahnya dua hati
yang terkait?

My Life at 30s – A Journey to be Blessed

35 tahun.

Terlalu singkat untuk belajar tentang hidup, tapi terlalu lama untuk (sekedar) memikirkannya. Ah, kadang aku sendiri tertawa. Hidup tak seindah cerita pada buku-buku novel yang aku baca ketika remaja. Hidup itu lucu! Selalu bercanda, dan seringkali melewati porsinya.

Terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang berubah. Fase-fase hidup yang tak pernah ku tau, bagian mana yang terbaik di antaranya. Setiap bagian menuai bahagia, sedih, kecewa dan traumanya sendiri. Tak pernah ingin mengulang yang telah berlalu, pun tak berani (lagi) mendambakan idealnya masa depan.

35 tahun.

Kapan ya aku benar-benar “merasakan” hidup? Sepertinya aku lebih banyak menangisi cinta yang hilang, melamunkan pernikahan yang sempurna, terlena dengan kata “selamanya”, terlalu sibuk menyusun “kriteria-kriteria” kebahagiaan dan kenyamanan atau sekedar bergulat teori hitungan dan ramalan duniawi, tanpa ‘merasakan’ apa yang terlampaui.

Tapi apakah semua itu sia-sia? Atau itu adalah bagian dari perjalanan sampai di titik ini?

Topik tentang hidup tak (akan) pernah lepas dari obrolan panjang di sela-sela gelas kopi, di WhatsApp chat tengah malam, atau bahkan cletukan di tengah rapat yang cukup serius. Dengan fasenya masing-masing, perjalanan sebuah sudut pandang dan cara merespon hidup terus berubah. Manusia memang diciptakan dengan logika, tapi benarkah semua harus ada logikanya? Atau logika adalah jabaran jamak antara hal-hal nyata dan ghaib? Jika indra manusia hanya mata, telinga, mulut, kulit, dan lidah, lalu hati ada di posisi apa? Hati yang bisa merasa sakit, bahagia, kecewa, sedih, bangga dan lain-lain?

35 tahun.

Banyak kejadian yang mungkin menjadi ‘turning point’ dalam hidup yang secara ekstrim mengajariku banyak hal. Tapi dari semua hal yang mengiringi, perjalanan yang paling panjang buatku adalah penerimaan diri. Penerimaan diri dari semua kekurangan, dari segela kelemahan, trauma, ketidaksempurnaan dan apapun yang dianggap (sebagian besar orang) sebuah ‘kecacatan’. Menerima diri sendiri dan mencintai diri sendiri ternyata jauh lebih sulit. Begitu pula mengenal diri sendiri, mengindentifikasi apa yang aku mau, apa yang aku butuhkan, pun ternyata aku membutuhkan waktu cukup panjang. Aku mencoba berkenalan lagi dengan diriku sendiri. Mulai dengan bercerita, bertanya, menjawab, dan berkomunikasi monolog dengan diriku sendiri.

35 tahun.

4 tahun diantaranya aku menjalani hidup sebagai Ibu tunggal. Perjalanan yang tak pernah aku duga akan terjadi padaku. Seperti pada umumnya, di masa mudaku, aku selalu mendamba sebuah kehidupan pernikahan yang begitu membahagiakan, sampai akhirnya realita memberikan jawaban “surga dunia itu tak selalu dianugrahkan kepada semua pasangan”.  Hal itulah yang akhirnya merubah pandangan hidupku secara ekstrim.

Di awal perceraianku, aku mengira menjadi Ibu tunggal akan menjadi peran paling berat di dunia. Peran dengan banyak penghakiman, penuh perjuangan dan penuh tangis diantara peran-peran lain. Tapi, sekarang aku menyadari bahwa aku salah besar. Bukan karena yang kusebutkan tidak benar adanya, tapi lebih pada sempitnya sudut pandangku yang menempatkan diriku sendiri menjadi orang paling menderita. Kenyatannya bagaimana? Ternyata setiap peran itu berat dan perceraian tak selalu menjadi opsi terburuk dari akhir sebuah relasi pernikahan. Ya, begitulah. Selalu ada duka, selalu ada perjuangan, dan selalu ada tangis di setiap peran. Kita hanya bisa memilih antara duka, perjuangan dan tangis mana yang mau kita jalani 🙂

Dalam 4 tahun terakhir, tak berhenti kudengar silih berganti tangis keluhan dari peran-peran lain di sekelilingku. Tangis dari istri yang bertahan pada pernikahan yangpenuh kekerasan, tangis dari istri yang dikurun g suaminya, tangis dari istri yang bertahan karena materi, dan berbagai ‘neraka’ lain dalam sebuah relasi. Lalu, mengapa perceraian masih sering dianggap buruk? Bukankah setiap hati berhak untuk memperjuangkan kebahagiaan?

My life is roller coaster.

Di tahun ke 34, seorang sahabat menanyaiku tentang rasa sakit.

“Kamu takut merasa sakit?”

Jawabanku akan sama dengan manusia normal lain yaitu,

“Kalau aku bisa memilih aku akan memilih merasakan bahagia”.

“Lalu kalau kamu merasa sakit (hati), apa yang kamu lakukan?”

“Dirasakan.”

Di setahun terakhir, ya 2020, aku semakin memandang bahwa hidup itu memang demikian adanya. Demikian dinamis, dengan segala suka duka canda dan naik turunnya. Mungkin ini ya yang dinamakan hikmah dari pandemi (?). Dunia diuji dengan begitu banyak ketidakpastian, kewaspadaan, ketakutan dan kekawatiran. Begitu banyak yang harus dirasakan dan diikhlaskan. Senang dan sedih seakan tak berjarak, terus menerus sepanjang tahun. Tapi bukankah hidup memang demikian? Adakah cara yang lebih baik daripada merasakan setiap detiknya?

“Nothing is certain in this world.”

Namanya dunia, tak ada yang pasti. Karena itulah kejutan dan kekecewaan akan selalu bagian darinya. Di usiaku yang dulu, rumus-rumus kehidupan sering aku jadikan patokan. “Kalau aku berbuat baik, mereka akan baik kepadaku”. Ternyata hidup tidak begitu sayang. Selalu ada hukum alam yang tak pasti. Yang jahat pun tak selalu berbalas jahat, justru bisa jadi mereka mendapat banyak kebaikan sampai saatnya nanti mereka sadar karena itu. Lalu seadil apa dunia dijadikannya? Dari 1000 cerita, apakah ada yang sesuai dengan rencana kita?

Hal-hal itu banyak sekali merubah hidupku, baik yang positif maupun negatif. Selalu bisa menerima ketidaksesuaikan, menjadikan aku sosok yang tidak impulsive. Namun ternyata hal itu juga berimbas pada sisi diriku yang lain. Toleransiku terhadap sesuatu juga menjadi terlalu luas. Sudut pandangku hari ini, tak ada yang terlalu jahat, ataupun terlalu baik. Tak ada yang berhak mendapat penghakiman mutlak di dunia karena kesalahannya, karena tak ada yang benar-benar salah.

“Bukankah kita semua punya rahasia yang disimpan rapat-rapat karena tidak ingin dihakimi buruk oleh sesama?”, Wening 2020.

Kita semua, ya aku yakin semua, punya rahasia yang tak pernah kita bagi karena penghakiman sesama terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

“Tak (selalu) perlu sembuhkan luka, kau boleh sekedar lupa”

Luka hati, luka mental, luka hidup. Sama tapi beda dengan luka fisik, sembuhnya tak kasat mata. Dulu aku selalu mengejar “sembuh” untuk semua luka tanpa tau obat yang tepat.

“Everything is temporary, nothing last forever.”

Apakah ada yang ‘selamanya’ di dunia ini? Relasi? Rasa cinta? Masalah? Kesedihan?

Kalau ada yang selamanya, mungkin hanya sebagian dari rasa sayang orang tua ke anaknya. Pun, ternyata banyak orang tua yang pada akhirnya tak lagi mengakui anaknya. Lalu?

“To feel nothing is something.”

Hidup di umur kepala 3, otak dan hati rasanya tak pernah punya kapasitas yang cukup. Semua masuk tanpa permisi, minta segera dipikirkan, dipertimbangkan, diputuskan, Kemudian berduyun-duyun pula memulai aksi protesnya.

Serumit apa gejolak pententangan hati tentang ini itu?

Sebanyak apa luka hati yang belum berhasil disembuhkan?

Sesibuk itu merasa dan berfikir, kemudian letih. Yang didamba hanya tenang. Terkadang tidak merasa apapun juga menjadi sungguh sesuatu yang berharga.

“Feeling peaceful is one of basic needs.”

Jurnal Perjalanan I: Keterpaksaan

Disadari atau tidak, dalam hidup kita sering sekali memulai sesuatu dengan keterpaksaan. Ketika kita kecil, orang tua kita menjauhkan mainan dari jangkauan supaya kita terpaksa berjalan untuk mengambilnya, yang pada akhirnya, itulah yang membuat kita berani berlari. Di masa sekolah, mungkin seringkali kita merasa terpaksa belajar banyak mata pelajaran yang menurut kita tidak menarik, tapi justru dari situlah pada akhirnya kita tau apa yang sebenarnya kita minati.

Hidup ini adalah rangkaian proses, kan? Proses yang multi-series tanpa henti hingga kita mati. Kita lahir dengan membawa gen dari orang tua kita dan tumbuh dalam berbagai proses dengan faktor-faktor yang mengiringinya. Lalu, apakah proses selalu ada awal dan akhir? Menurut saya, ya. Hanya saja kalau kita bicara tentang hidup, proses itu akan selalu tumpang tindih sehingga sering kali tanpa jeda sehingga kita tak menemukan titik henti.

Setelah berbagai proses yang telah kita alami, sekarang kita diberi sebuah keterpaksaan lagi. Kita berada pada situasi yang tidak kita inginkan. Situasi yang menyedihkan, menegangkan, menyakitkan, dan lebih parah lagi, kita tak tau kapan situasi ini akan berakhir. Kita dipaksa menghadapi realita yang sangat tidak mudah. Apakah ini sebuah proses? Ya. Apakah akan ada hikmah dari proses ini? Pasti. Tapi apa? Itu semua tergantung bagaimana kita menjalani proses ini dan menghargai memaknai hasilnya.

Saya? Saya juga sedang dipaksa untuk bisa melewati masa ini. Proses berat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada rangkaian lelah yang saya harap akan membuahkan hikmah yang besar dan ada rangkuman keresahan yang semoga berakhir dengan kedamaian.

Eh, lalu apa hubungannya dengan foto kopi? Karena kopi bisa dianalogikan sama dengan hidup. Untuk memprosesnya menjadi kopi enak tidak mudah. Ada perjalanan panjang untuk memberikan rasa yang maksimal. Berapa lama? Berapa kali proses? Berapa kali harus mencoba? Bisa belasan, puluhan, bahkan ratusan kali lagi. Kalau kopi saja begitu rumit, apalagi hidup?

Jadi,.. masih adakah yang meragukan bahwa untuk mencapai tujuan, pasti ada perjalanan?

Semoga kita bertemu di ujung sana, ya?

Engkau Nyata dan Tak Ada

Kau hadir di setiap mimpiku
Tapi kucari, kau tiada

Halusinasi dan tak nyata
Itulah dirimu

Dalam setiap lamunan kau muncul
Hampir nyata tapi tak ada

Rasa yang dekat dan melekat
Seperti angin disela rambutku
Seperti wangi bunga di musim semi

Ketiadaan membuatmu ada
Di setiap mimpiku
Di setiap lamunku

12 April 2017, 2:03 Am

Karena malam yang panjang selalu syahdu.

Rindu oh Rindu

Melengkapi kalimat yang tak selesai, habis dimakan waktu.
Ada tujuan tanpa tau arah.
Pandangan yang samar, di kejauhan.

Ada tujuh warna dalam satu cahaya,
saling melengkapi dalam terang.

Bisikan lirih membawa senyum.
Hilang sesaat lalu hadir lagi dalam hangat.
Ingin kupeluk selamanya.
Rindu oh rindu.

Mentari pagi, di mana engkau?

Enam Belas Hari Lagi Desember

Senja tak akan abadi
Begitu pula sejuknya udara pagi
Yang berganti menjadi panas yang terik
Atau hujan yang lebat

Kau takkan mengetuk pintu ini lagi
Bisa saja,
Besok kita tak lagi jumpa

Mengapa kau tancapkan paku?

Padahal aku kaca
Kepinganku bisa melukaimu

Enam belas hari lagi Desember
Ingatkah kamu?

Secercah Surga

Terayun-ayun ujung kaki menyentuh tanah basah
Menggantung di ranting pohon jambu
Semburat ungu di langit senja
Udara segar semerbak bau tanah

Tersungging senyum bahagia tak tereka
“Tak ada yang sebahagia aku” batin si gadis berambut tipis
Riang tak terkira seriang rambutnya menari diterpa angin
Butiran air membanjiri bumi
Seiring butiran haru di pipinya

Oh, alam tak pernah seindah ini.

Come Closer

Taken from www.tsitra360.deviantart.com

Taken from www.tsitra360.deviantart.com

Tomorrow is just the same day
Cloudy-cold-creepy day

Hey baby, where are you
Please come closer
We talk over the sun
And face this desert land

The spooky wind is coming after me
I can’t run

Please come closer
Bring me the blanket
and the water i can jump

Hey baby, I can’t hold on
Blood is just like a dew in the morning
Flowing just like the tears

on my cheek

Today is colder than yesterday
But it feels better
I feel nothing, no more

Hey baby,.. i’m free..
Please come closer, and join me..


Yogyakarta, May 17, 2013

Together..

You & Me – http://www.createblog.com

The kisses of your lips, bitter sweet,
are where the story begins.

You never know, even I,
if the storm may be end, when we sleep over the night,
and if the clouds and the rain never meet again.

We breaching out the rules, but like you said,
we are gonna be okay.
as if we know that we belong to be together.

The branches are broken,
they fall to the ground.

Hey, it is rainy season,
but why nothing is flowing into the river?

Then your arms hold me tight,
give me no more reason to turn back.

And now all i know is eternity,
in the heart, deeper than anything before,

We are three, together..