Awal Perjalanan

Disalin dari akun Instagram @catatankecilkopi

Setiap perjalanan pasti ada permulaan. Begitu pula dengan perjalanan saya di bidang perkopian ini. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan berkecimpung dalam bidang ini. Latar belakang saya yang jauh dari F&B (sekolah IT, awal karir di EO & Tour Operator), membuat saya tak pernah sekalipun berpikir akan tertarik di bidang kopi. Singkat cerita, karena berbagai alasan personal, saya membantu Ully untuk membangun Svarga Coffe and Eatery di tahun 2018. Masih anak kemarin sore, sungguh tidak tahu apa-apa, membuat saya sangat berat dalam beradaptasi. Saya masih minum milk based ketika di cafe, masih koleksi kopi saset di rumah, masih teriak kalau minum espresso karena pahit dan tidak tahu apa itu flavor dalam kopi.

Awal tahun 2020, secara tidak sengaja saya bertemu dengan kawan lama yang sudah 14 tahun tidak bertemu. Tak banyak berbincang, dia spontan mengajakku ke kebun kopi yang dia kenal, yang tentu saja langsung saya sambut dengan riang. Di perjalanan inilah ternyata takdir saya dimulai.

 

Foto di atas diambil di bulan Februari tahun 2020 di sebuah kebun kopi yang terletak di Bowongso. Berkenalan dengan Pak Eed, Mas Dani, Mas Iyun, Mas Anggi, dan teman-teman lain di sana, banyak membuat saya takjub dengan berbagai ceritanya. Saya yang sangat suka dengan obrolan-obrolan ilmiah tiba-tiba merasa kegirangan setengah mati. Walau sulit mencerna, sejak hari itu banyak sekali pertanyaan-pertanyaan muncul di kepala yang membuat saya termotivasi untuk mencari tahu. Dari hari itulah pula, saya merasa sangat bodoh sekaligus sangat ingin belajar.

Belum lama di tahun lalu, kalau tidak salah ingat, sembari berbincang ringan saya sempat berterima kasih sama Mas Dani, kurang lebih begini:

“Makasih ya, Mas berjasa hlo bikin aku nggak ngopi saset lagi!” seruku.
“Yaaa.. Sudah banyak sih yang bilang begitu.” jawabnya. 😀

Menyeduh Kehidupan

Karena takdir sulit ditebak. Apa-apa harus kita maknai dan usahakan dengan sebaik-baiknya. Ada hal-hal yang mungkin tak terulang dua kali, tapi setidaknya kita sudah memberikan yang terbaik.

 

Konon, hidup itu seperti kopi. Pahit tapi candu.

Eh, tunggu dulu, mungkin juga hidupmu seperti kopi COE juara 1 yang super spesial ya 🙂

Apapun hasil seduhan hidupmu, semoga bisa dinikmati dengan senyuman 🙂

Mistake(s)

“Georgia, wrap me up in all your
I want you in my arms
Oh, let me hold you
I’ll never let you go again like I did
Oh, I used to say..”

Lena terdiam, termangu di sebuah sudut. Dia tidak di sini. Dia bergulat dengan ilusi. Masa lalu,  masa depan, jauh dari apa yang ada di hadapannya.

“I’ve made a lot of mistakes in the past. Wrong decisions, wrong steps. Huft..” I said to my friend.

“Well, I think, instead of using the word ‘mistakes’ you can use the word ‘learning’. Mistake is a negative word, and make you feel bad all the time. Everyone made mistakes. From mistakes you learn something, you grow. Try to focus on positive things, be grateful.” He replied.

All True Love Needs is a Chance

“And though the odds say improbable
What do they know
For in romance
All true love needs is a chance…”

Lagu Overjoyed terus mengalun dari aplikasi musiknya hari ini, mengetuk keresahan dan nalar dalam waktu bersamaan. Dia menerawang ke jendela, mencoba merangkai serpihan-serpihan kerumitan di kepala dan berakhir pada helaan nafas panjang yang tak menjawab apapun.

Beberapa bulan terakhir, dadanya rasanya penuh dengan gedub yang tak menentu. Gedub rindu, gedub haru, gedub pilu menjadi satu. Tak lupa, senyum merekah merekuh kenangan yang pernah terangkai.

Sebut saja namanya Lena, seorang wanita dewasa yang kebetulan sudah lama tak jatuh cinta. Memilih hidup sendiri pernah menjadi pilihan yang ingin dijalaninya. Tapi, pilihan itu mendadak berubah haluan setelah dia bertemu seseorang yang energinya tak bisa ditolak.

Beberapa tahun terakhir, Lena memang dianugerahi tarikan-tarikan energi yang (terkadang) membuatnya limpung. Bukan hanya energi-energi positif, negatif, tapi juga frame-frame tertentu yang tiba-tiba muncul, tentang orang-orang yang dia temui. Beberapa diantaranya sangat berbekas seakan frame-frame itu terperangkap dalam pikirannya. 

Jiwanya sering berkelana, menjadi sosok-sosok yang dia inginkan, sembunyi dari tarikan-tarikan firasat dan energi yang menggerogoti kedamaiannya. Dia sendiri tak tau yang dimaksud dengan semua itu, “Lelah sekali!”. Tak hanya tangisan tiba-tiba di hari yang cerah, tapi juga sesaknya nafas dan denyutan di kelapa yang kerap muncul sehingga dia harus menegak obat pereda. 

“Kamu menyerap energi, dan kamu belum bisa mengontrolnya.” katanya di suatu hari. Lena terdiam. Masuk akal baginya pernyataan itu.

“Energiku bisa menenangkanmu.” tambahnya. Lena kembali terdiam. Frame ini sudah dia ketahui sejak 10 bulan lalu, dan terjadi. 

“Ada hal-hal di luar kontrol kita, Mas.” Lena tersenyum.

“Puzzlenya sudah lengkap. Mari berdoa.” ujarnya sembari mengulurkan tangan. 

~

“You make my world so colorful
I never had it so good
My love I thank you for all the love
You gave to me..”

Ketenangan itu candu. Dan ikatan-ikatan tak kasat mata tak ayal terlalu kuat untuk dilepaskan.

Terkadang selamanya.

Waktu adalah Harapan

Andai, ya, andai mimpi-mimpi ini bisa aku kompromikan. Andai, aku bisa menekan egoku sendiri dan bisa bernegosiasi dengan target-targetku.

Nyatanya tidak.

Sekuat tenaga merelakan apa-apa yang jadi ingin, tapi masih saja datang kembali. Mengusik ego dan logika. Kembali kepada ambisi yang tak berkesudahan dan menunggu kemana alam akan membawaku.

Mengingat-ingat masa-masa merasa tanpa beban, bisa sedikit membantu, setidaknya sesaat menoreh senyum.

“Semoga lelahnya jadi lillah yaaa” kata seorang sahabat.

Mungkin hanya itu yang bisa diharapkan. Semoga.

Mengejar Waktu

“Siapa yang butuh keajaiban?” batinku.

Langkahku cepat, kususul waktu yang terlampau cepat melaluiku. Hari sudah larut, terlalu malam untukku kembali ke tempat kerja. Tapi, ada yang belum selesai, aku harus kembali. Kelip-kelip lampu mulai mengganggu penglihatanku yang silindris. Garis-garis terang berpendar makin lebar di jam-jam ini.

“Sampai mana?” sebuah teks muncul di layar ponsel.

Aku terus melaju. Tak ada yang lebih penting dari fokus pada jalanan yang licin karena gerimis ini. Mengejar waktu ternyata bukan keahlianku, karena tetap saja dia mendahuluiku. “Ayolah, tiga tikungan lagi!” pacuku dalam hati. Beberapa kali klakson kubunyikan, sekedar menambah kesadaranku yang mulai memudar.

“Satu tikungan lagi!” kembali kufokuskan pandanganku.

Tepat dua menit setelahnya, aku sigap memberhentikan mobilku dan segera turun, setengah berlari masuk. Kulihat sosok itu berdiri sedikit lusuh dengan celana pendek dan sendal jepit, tatapannya sendu.

“Ada apa?”

2022

Duduk. Termenung. Terdiam di suatu sudut. Terhanyut dalam hitungan-hitungan tak terhitung, merangkum rasa setahun kemaren.

“Mon, Jan 31”, sebuah pengingat di layar depan ponselku. “Hah, sudah selesai Januariku?” batinku. Padahal aku baru 2 kali menulis #30haribercerita.

Januari seringkali menjadi spesial untukku, karena selain di bulan ini aku lahir, bulan ini juga menjadi bulan pembuka tahun. Tapi, Januari kali ini terlalu padat rasanya, riuh-riuh-riuh, ramai, terlalu cepat berlalu.

They said “age is only a number.” (oh, really?)

Tapi untukku, tak hanya itu. Khususnya di usia-usia yang tak lagi muda, umur juga melambangkan harapan-harapan yang masih bisa diusahakan, atau yang harus diikhlaskan, memori-memori yang hilang karena tak lagi penting untuk diingat, atau sesepele bertambahnya anggaran perawatan kulit karena enggan dipanggil “budhe”.

Mujur dikata, aku telah melewati 36 tahun hidupku. Kalau dibilang, cukup lama rasanya untuk berada di usia ini dan ternyata tidak seperti yang pernah ku bayangkan dulu. Alih-alih stabil seperti lamunanku dulu, saat ini bisingnya isi kepala membuat semua serba naik-turun.

Uban-uban yang muncul kadang membuatku risih. “Terlalu dini, ah!” batinku. Begitu juga kerutan-kerutan yang mulai muncul. “Rani jangan gitu kalau difoto, jadi kelihatan kerutannya.”

Ternyata, ada hal-hal yang tak bisa lagi kucegah, atau lebih tepatnya tak bisa diusahakan lebih. Ada juga yang harus diterima tanpa harus dipertanyakan.

“Sudah, sedih boleh, senang boleh, bersyukur itu wajib, jangan larut,” kataku di depan laptop sambil memandang samar kantung mata yang terpantul dari layar.
__

“Silakan Kak, espressonya,” suara lembut mempersilakan.

“Terima kasih,” sambutku sambil tersenyum.

#ageisnotjustanumber

Tertukar

“Tak akan tertukar di dunia ini! Semua sudah ada yang mengatur, ” celetuknya.

Ya, (mungkin) benar. (Dan) Siapa yang punya cukup keyakinan untuk menyangkal pernyataan itu? Tapi, apa iya, yang tertukar ini juga sudah diatur untuk tertukar?

Ah, apalah itu. Aku sudah menunggu lebih dari 30 menit di sini karena pesananku tertukar dengan pelanggan lain. Panas dan berkeringat. Tak nyaman, tapi bayang-bayang minuman segar itu membuatku duduk dengan tenang.

Cangkir pertamaku datang, tak asing dan menyenangkan. 2 menit untuk euforia itu, lalu kulanjutkan lagi keresahan penantian gelas kedua.

Waktu bergulir jauh lebih lambat dari sebelumnya. 10 menit berlalu, belum ada kabar gembira.

5 menit berselang, yang kutunggu akhirnya hadir bersamaan dengan habisnya ekspektasiku. Tak sabar kuicip, minuman itu segar dan membahagiakan. Lucunya, seketika itu pula tak kusesali lagi takdir “tertukar” tadi.

“Mungkin benar sudah ada yang ngatur!” jawabku dengan tersenyum. ?

Waktu

Waktu, ya begitu.

Kadang terasa terlalu lambat, kadang terlalu cepat. Bisa jadi banyak hal yang ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba, tapi yang tak diharapkan justru datang mengejutkan. Bagaimana 2021 mu? 2021 ku kemaren luar biasa. Fase hidup yang takkan pernah kulupakan, terlalu berharga untuk sedikit saja dihilangkan dari ingatan.

Terbit tenggelam, lurus berkelok, jatuh bangun, datang dan pergi, senang sedih, konon sudah biasa. Jadi, apalagi selain mengusahakan dan mengilhami detik ini saja? Tanpa menebak-nebak yang belum terjadi? 2022? Banyak harapan yang masih dipertahankan, masih banyak hal yang diperjuangkan. Semoga selalu dikuatkan dan dilapangkan jalannya.

Kalau kata lagunya Doris Day “Whatever will be, will be, the future not ours to see, que sera sera”.

Terima kasih hidup, untuk semua lika-likumu. ?

Selamat berjuang, kawan!