Menggantung

Menggantung, pikirku melayang
Terbang entah kemana
Tenang itu, gedub itu
Rangkai irama kedamaian

“Ini anugerah” katamu berbisik,
lalu tersenyum..

Tak bisa ku berkata
Terdiam di pelukmu

Ke masa yang lalu
Ketika rindu yang meradang
tak munculkan pilu

Adakah yang lebih merana
dari terpisahnya dua hati
yang terkait?

My Life at 30s – A Journey to be Blessed

35 tahun.

Terlalu singkat untuk belajar tentang hidup, tapi terlalu lama untuk (sekedar) memikirkannya. Ah, kadang aku sendiri tertawa. Hidup tak seindah cerita pada buku-buku novel yang aku baca ketika remaja. Hidup itu lucu! Selalu bercanda, dan seringkali melewati porsinya.

Terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang berubah. Fase-fase hidup yang tak pernah ku tau, bagian mana yang terbaik di antaranya. Setiap bagian menuai bahagia, sedih, kecewa dan traumanya sendiri. Tak pernah ingin mengulang yang telah berlalu, pun tak berani (lagi) mendambakan idealnya masa depan.

35 tahun.

Kapan ya aku benar-benar “merasakan” hidup? Sepertinya aku lebih banyak menangisi cinta yang hilang, melamunkan pernikahan yang sempurna, terlena dengan kata “selamanya”, terlalu sibuk menyusun “kriteria-kriteria” kebahagiaan dan kenyamanan atau sekedar bergulat teori hitungan dan ramalan duniawi, tanpa ‘merasakan’ apa yang terlampaui.

Tapi apakah semua itu sia-sia? Atau itu adalah bagian dari perjalanan sampai di titik ini?

Topik tentang hidup tak (akan) pernah lepas dari obrolan panjang di sela-sela gelas kopi, di WhatsApp chat tengah malam, atau bahkan cletukan di tengah rapat yang cukup serius. Dengan fasenya masing-masing, perjalanan sebuah sudut pandang dan cara merespon hidup terus berubah. Manusia memang diciptakan dengan logika, tapi benarkah semua harus ada logikanya? Atau logika adalah jabaran jamak antara hal-hal nyata dan ghaib? Jika indra manusia hanya mata, telinga, mulut, kulit, dan lidah, lalu hati ada di posisi apa? Hati yang bisa merasa sakit, bahagia, kecewa, sedih, bangga dan lain-lain?

35 tahun.

Banyak kejadian yang mungkin menjadi ‘turning point’ dalam hidup yang secara ekstrim mengajariku banyak hal. Tapi dari semua hal yang mengiringi, perjalanan yang paling panjang buatku adalah penerimaan diri. Penerimaan diri dari semua kekurangan, dari segela kelemahan, trauma, ketidaksempurnaan dan apapun yang dianggap (sebagian besar orang) sebuah ‘kecacatan’. Menerima diri sendiri dan mencintai diri sendiri ternyata jauh lebih sulit. Begitu pula mengenal diri sendiri, mengindentifikasi apa yang aku mau, apa yang aku butuhkan, pun ternyata aku membutuhkan waktu cukup panjang. Aku mencoba berkenalan lagi dengan diriku sendiri. Mulai dengan bercerita, bertanya, menjawab, dan berkomunikasi monolog dengan diriku sendiri.

35 tahun.

4 tahun diantaranya aku menjalani hidup sebagai Ibu tunggal. Perjalanan yang tak pernah aku duga akan terjadi padaku. Seperti pada umumnya, di masa mudaku, aku selalu mendamba sebuah kehidupan pernikahan yang begitu membahagiakan, sampai akhirnya realita memberikan jawaban “surga dunia itu tak selalu dianugrahkan kepada semua pasangan”.  Hal itulah yang akhirnya merubah pandangan hidupku secara ekstrim.

Di awal perceraianku, aku mengira menjadi Ibu tunggal akan menjadi peran paling berat di dunia. Peran dengan banyak penghakiman, penuh perjuangan dan penuh tangis diantara peran-peran lain. Tapi, sekarang aku menyadari bahwa aku salah besar. Bukan karena yang kusebutkan tidak benar adanya, tapi lebih pada sempitnya sudut pandangku yang menempatkan diriku sendiri menjadi orang paling menderita. Kenyatannya bagaimana? Ternyata setiap peran itu berat dan perceraian tak selalu menjadi opsi terburuk dari akhir sebuah relasi pernikahan. Ya, begitulah. Selalu ada duka, selalu ada perjuangan, dan selalu ada tangis di setiap peran. Kita hanya bisa memilih antara duka, perjuangan dan tangis mana yang mau kita jalani 🙂

Dalam 4 tahun terakhir, tak berhenti kudengar silih berganti tangis keluhan dari peran-peran lain di sekelilingku. Tangis dari istri yang bertahan pada pernikahan yangpenuh kekerasan, tangis dari istri yang dikurun g suaminya, tangis dari istri yang bertahan karena materi, dan berbagai ‘neraka’ lain dalam sebuah relasi. Lalu, mengapa perceraian masih sering dianggap buruk? Bukankah setiap hati berhak untuk memperjuangkan kebahagiaan?

My life is roller coaster.

Di tahun ke 34, seorang sahabat menanyaiku tentang rasa sakit.

“Kamu takut merasa sakit?”

Jawabanku akan sama dengan manusia normal lain yaitu,

“Kalau aku bisa memilih aku akan memilih merasakan bahagia”.

“Lalu kalau kamu merasa sakit (hati), apa yang kamu lakukan?”

“Dirasakan.”

Di setahun terakhir, ya 2020, aku semakin memandang bahwa hidup itu memang demikian adanya. Demikian dinamis, dengan segala suka duka canda dan naik turunnya. Mungkin ini ya yang dinamakan hikmah dari pandemi (?). Dunia diuji dengan begitu banyak ketidakpastian, kewaspadaan, ketakutan dan kekawatiran. Begitu banyak yang harus dirasakan dan diikhlaskan. Senang dan sedih seakan tak berjarak, terus menerus sepanjang tahun. Tapi bukankah hidup memang demikian? Adakah cara yang lebih baik daripada merasakan setiap detiknya?

“Nothing is certain in this world.”

Namanya dunia, tak ada yang pasti. Karena itulah kejutan dan kekecewaan akan selalu bagian darinya. Di usiaku yang dulu, rumus-rumus kehidupan sering aku jadikan patokan. “Kalau aku berbuat baik, mereka akan baik kepadaku”. Ternyata hidup tidak begitu sayang. Selalu ada hukum alam yang tak pasti. Yang jahat pun tak selalu berbalas jahat, justru bisa jadi mereka mendapat banyak kebaikan sampai saatnya nanti mereka sadar karena itu. Lalu seadil apa dunia dijadikannya? Dari 1000 cerita, apakah ada yang sesuai dengan rencana kita?

Hal-hal itu banyak sekali merubah hidupku, baik yang positif maupun negatif. Selalu bisa menerima ketidaksesuaikan, menjadikan aku sosok yang tidak impulsive. Namun ternyata hal itu juga berimbas pada sisi diriku yang lain. Toleransiku terhadap sesuatu juga menjadi terlalu luas. Sudut pandangku hari ini, tak ada yang terlalu jahat, ataupun terlalu baik. Tak ada yang berhak mendapat penghakiman mutlak di dunia karena kesalahannya, karena tak ada yang benar-benar salah.

“Bukankah kita semua punya rahasia yang disimpan rapat-rapat karena tidak ingin dihakimi buruk oleh sesama?”, Wening 2020.

Kita semua, ya aku yakin semua, punya rahasia yang tak pernah kita bagi karena penghakiman sesama terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

“Tak (selalu) perlu sembuhkan luka, kau boleh sekedar lupa”

Luka hati, luka mental, luka hidup. Sama tapi beda dengan luka fisik, sembuhnya tak kasat mata. Dulu aku selalu mengejar “sembuh” untuk semua luka tanpa tau obat yang tepat.

“Everything is temporary, nothing last forever.”

Apakah ada yang ‘selamanya’ di dunia ini? Relasi? Rasa cinta? Masalah? Kesedihan?

Kalau ada yang selamanya, mungkin hanya sebagian dari rasa sayang orang tua ke anaknya. Pun, ternyata banyak orang tua yang pada akhirnya tak lagi mengakui anaknya. Lalu?

“To feel nothing is something.”

Hidup di umur kepala 3, otak dan hati rasanya tak pernah punya kapasitas yang cukup. Semua masuk tanpa permisi, minta segera dipikirkan, dipertimbangkan, diputuskan, Kemudian berduyun-duyun pula memulai aksi protesnya.

Serumit apa gejolak pententangan hati tentang ini itu?

Sebanyak apa luka hati yang belum berhasil disembuhkan?

Sesibuk itu merasa dan berfikir, kemudian letih. Yang didamba hanya tenang. Terkadang tidak merasa apapun juga menjadi sungguh sesuatu yang berharga.

“Feeling peaceful is one of basic needs.”

Jurnal Perjalanan I: Keterpaksaan

Disadari atau tidak, dalam hidup kita sering sekali memulai sesuatu dengan keterpaksaan. Ketika kita kecil, orang tua kita menjauhkan mainan dari jangkauan supaya kita terpaksa berjalan untuk mengambilnya, yang pada akhirnya, itulah yang membuat kita berani berlari. Di masa sekolah, mungkin seringkali kita merasa terpaksa belajar banyak mata pelajaran yang menurut kita tidak menarik, tapi justru dari situlah pada akhirnya kita tau apa yang sebenarnya kita minati.

Hidup ini adalah rangkaian proses, kan? Proses yang multi-series tanpa henti hingga kita mati. Kita lahir dengan membawa gen dari orang tua kita dan tumbuh dalam berbagai proses dengan faktor-faktor yang mengiringinya. Lalu, apakah proses selalu ada awal dan akhir? Menurut saya, ya. Hanya saja kalau kita bicara tentang hidup, proses itu akan selalu tumpang tindih sehingga sering kali tanpa jeda sehingga kita tak menemukan titik henti.

Setelah berbagai proses yang telah kita alami, sekarang kita diberi sebuah keterpaksaan lagi. Kita berada pada situasi yang tidak kita inginkan. Situasi yang menyedihkan, menegangkan, menyakitkan, dan lebih parah lagi, kita tak tau kapan situasi ini akan berakhir. Kita dipaksa menghadapi realita yang sangat tidak mudah. Apakah ini sebuah proses? Ya. Apakah akan ada hikmah dari proses ini? Pasti. Tapi apa? Itu semua tergantung bagaimana kita menjalani proses ini dan menghargai memaknai hasilnya.

Saya? Saya juga sedang dipaksa untuk bisa melewati masa ini. Proses berat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada rangkaian lelah yang saya harap akan membuahkan hikmah yang besar dan ada rangkuman keresahan yang semoga berakhir dengan kedamaian.

Eh, lalu apa hubungannya dengan foto kopi? Karena kopi bisa dianalogikan sama dengan hidup. Untuk memprosesnya menjadi kopi enak tidak mudah. Ada perjalanan panjang untuk memberikan rasa yang maksimal. Berapa lama? Berapa kali proses? Berapa kali harus mencoba? Bisa belasan, puluhan, bahkan ratusan kali lagi. Kalau kopi saja begitu rumit, apalagi hidup?

Jadi,.. masih adakah yang meragukan bahwa untuk mencapai tujuan, pasti ada perjalanan?

Semoga kita bertemu di ujung sana, ya?

Wanita itu, Bukan Wanita

Tiba-tiba dadaku sesak, terus turun menekan lambung dan rahimku. Hilang semua nafsu makan, sementara janinku mendadak tegang. Kupejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam, berharap aliran udara dalam paru-paruku itu bisa menenangkan ledakan emosiku. Gagal. Suara wanita iblis itu masih terngiang jelas di telingaku.

“Dasar goblok!! Ceroboh!! Mengapa hal sepenting ini bisa terlewatkan? Saya perhatikan kinerjamu menurun sejak kamu mengandung!! Aahh.. wanita hamil memang selalu tidak produktif dan lamban!! Perusahaan rugi gara-gara kamu tahu?!!” sengit wanita separuh baya itu menyentakku dengan angkuh di tengah keramaian kantin kantor siang itu.

“Hidup adalah memilih. Tanpa pilihan adalah mati. Setiap pilihan punya konsekuensi. Konsekuensi bisa bermakna mati. Mati rasa, mati raga, mati hati.”

Ini sudah kedua kalinya aku mengandung. Kandungan pertamaku kandas bersamaan dengan sebuah perhelatan akbar rapat koordinasi (rakor) sebuah partai di Kalimantan dua tahun lalu. Saat itu,kandunganku masih empat bulan.

Salahku memang, karena saat itu aku mengandung di luar ikatan kelembagaan yang orang sebut ‘pernikahan’. Keadaan masa itu terlalu sulit untuk digambarkan, bahkan terlalu rumit untuk diingat. Saat itu aku berusia 23 tahun, baru 6 bulan lulus kuliah, dan 4 bulan bekerja di perusahaan ini. Bingung dan takut meliputi perasaanku. Kami belum punya apa-apa. Bahkan kedewasaan sekalipun. Suamiku lebih muda setahun dari usiaku dan saat itu masih menyelesaikan kuliah di semester akhir. Dia jauh lebih bingung dan takut daripada aku. Tanpa penghasilan, tanpa gelar, dia sama sekali tidak punya keberanian. Serba sulit dan dunia bagaikan neraka. Tapi bukan berarti aku tidak menginginkan bayi itu! Itu anakku, dan seburuk apapun keadaanku, aku tetap ingin dia lahir dengan sempurna ke dunia.

“Sa.. sayang, bagaimana jika kita gugurkan saja bayi itu?”, kata kekasihku terbata-bata.
“Jangan!Gila kamu!! Sekalipun kau meninggalkanku, aku tetapmempertahankan kandungan ini!” ledakku padanya.

Setelah melalui proses penenangan diri yang cukup panjang, akhirnya kami beranikan diri untuk mengatakannya sejujurnya pada orang tua kami. Air mata dan kemarahan mereka tumpah ruah pada kami. Terlalu banyak cacian dan teriakan di telinga kami. Terlalu banyak untuk diceritakan, bahkan untuk sekedar diingat. Namun, setelah melewati sederatan ledakan emosi dan keperihan mendalam itu, atasnama kebesaran Tuhan, kami akhirnya menikah kala kandungankuberusia dua bulan.

Bahagia, walau tak bisa dikatakan benar-benar bahagia. Tapi,mengingat bayiku akan lahir di tengah sebuah keluarga yang utuh, itumembuatku cukup merasa bahagia. Hanya aku dan bayiku, tapi tidak dengan keluargaku.
Pernikahan sederhana itu berlangsung ala kadarnya. Tanpa kemewahan, tanpa suka cita. Tanpa keceriaan dan kebahagiaan layaknya sebuah upacara sakral yang biasa kulihat. Lingkaran hitam dan kantung mata yang jelas tergambar di wajah ibuku, wajah murung dan tarikan nafas yang berat dari ayahku, menyadarkanku pada keadaan yang sebenarnya. Bahwa aku telah menyakiti mereka terlalu dalam.

“Ibu, maafkanlah aku. Aku tahu aku nista. Aku tahu aku telah menyakitimu terlampau dalam, Bu. Tapi kumohon, tetaplah sayangi aku, ijinkan aku tetap menjadi anakmu, Bu.”, kalimat itu berulang aku ucapkan saat prosesi sungkeman hari itu.

Deraian air mata tak habis-habisnya keluar dari pelupuk mataku yang membengkak ini.

“Jika dunia runtuhpun engkau tetap anakku, sayang. Jaga cucuku baik-baik.” Hanya itulah yang terucap dari mulut ibu saat itu. Dia terus menangis tanpa bisa berkata-kata lagi.

Setelah ritual formalitas itu, aku tetap melanjutkan perkerjaandan mencoba menjalani hariku dengan biasa. Aku lebih dari yakin seluruh rekan kantorku mengerti apa yang terjadi padaku. Muntah-muntah yang menjadi rutinitasku di pagi hari dan pengumuman bahwa akutelah menikah mendadak membuat kasak-kusuk publik terbentuk dengan sangat cepat, dan (kebetulan) tepat.

“Retno, sudah berapa bulan kandunganmu?” tanya wanita itu dengan sinis di suatu siang.
“Tiga bulan. Duabelas mingggu, Bu,” jawabku.
“Lalu bagaimana dengan proyek yang sedang kau kerjakan? Ini akan tetap jadi tanggungjawabmu. Jangan coba-coba jadikan kandunganmu sebagai alasan!” ucapnya menusuk relungku.
“Ya, Bu,” jawabku singkat. Ragu. Ya sebenarnya aku ragu. Tapi demi pekerjaan ini, dan demi sedikit uang tambahan yang biasanya aku dapat setelah menyelesaikan sebuah proyek, aku nekat. Ya, aku butuh pekerjaan ini.

Tiga minggu berselang, berangkatlah tim kami ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kota kecil di tengahpulau terbesar di Indonesia. Cukup terpencil pikirku, karena pesawat kami harus turun di Banjarmasin dan baru dilanjutkan dengan mobil ke kota tersebut. Medan berat, tebing-tebing terjal, dan jalan yang super rusak, membuat perutku berkali-kali memuntahkan isinya.

“Hanya mabuk kendaraan. Aku kuat,”batinku.

Setelah delapan jam perjalanan, kami tiba di tempat pelaksanaan acara. Rapat koordinasi sebuah partai berlambang banteng untuk wilayah Kalimantan. Rapat tahunan dengan seribu peserta ini sengaja dibuat di Palangkaraya dengan maksud menghimpun suara rakyat ‘kecil’ di kota itu. Disertai dengan program ‘berbagi’, umbaran janji dan kata-kata manis, rakor ini terasa begitu naif bagiku.

“Ah, politik selalu kotor! Mana ada yang bersih. Terkutuklah kau para politikus!”batinku.

Acara ini akan berlangsung selama empat hari. Dan tiga hari telah terlewati dengan baik, dengan minimnya komplain dari para peserta. Aku sebagai asisten koordinator saat itu cukup merasa tenang dengan lancarnya acara tersebut. Walaupun jam kerja kami gila-gialaan, tapi kami puas dengan hasilnya.

Di hari ketiga pelaksanaan, kami bekerja hingga cukup larut. Pukul 3.30 dini hari, saat terakhir kali aku melihat jam tanganku, sebelum kami kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Keesokan pagi, segala sesuatu terasa normal, kecuali perutku yang terasa kencang dan mulas. Dengan berbekal tekad, aku meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja, bahwa itu hanya gejala biasa ketika aku bekerja terlalu letih.

“Hari terakhir,” kataku.

Dengan menahan rasa sakit di perutku, aku tetap menjalani rutinitas:memeriksa daftar hadir peserta, sound system, letak kursi VIP, letak mikrofon, kesiapan pengisi acara, konsumsi, kru yang bertugas, dan tentu saja mengecek keberadaan sang bintang utama yaitu Ketua Partai.

Waktu menunjukkan 09.30 ketika perutku mendadak sakit luar biasa. Acara sudah dimulai, dan aku berada pada pojok belakang ruang pertemuan. Dalam keadaan berdiri, kucoba menahan rasa sakit yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Sesaat penglihatanku hilang, namun aku tersadar lagi. Tak berapa lama, aku merasakan aliran air sepanjang kakiku.

“Air apa ini?” batinku kaget.

Dengan menunduk lemas, aku melihat arah betisku yang terbuka, dan kulihat aliran air iru berwarna merah. Sekian detik aku melihatnya, dan menyadari bahwa itu adalah darah.

“Oh, tidak. Ya Tuhan…,” dalam keadaan lemas, air mataku bergulir, duniaku gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi setelah itu.

Entah berapa lama aku jatuh pingsan. Ketika aku membuka mata, aku berada di ruangan dengan tembok putih dan infus sudah terpasang di tanganku. Aku berada di rumah sakit. Tak lama, seorang dokter datang menghampiriku.

“Selamat sore Ibu Retno, perkenalkan saya Sherly, dokter kandungan di rumah sakit ini.”, sapanya dengan senyuman kaku.
“Bagaimana dengan janin saya?” sontakku dengan spontan.
“Ibu, Ibu tenang dulu ya. Saya akan jelaskan kepada Ibu semua yang ingin Ibu ketahui. Namun sebelumnya, dimanasuami Ibu saat ini?”
“Suami saya di Yogya, Dok. Mengapa Ibu menanyakan suami saya?”
“Tidak apa-apa Bu, saya fikir suami Ibu ada disini, sehingga saya bisa menjelaskan langsung kepada kalian berdua secara bersamaan.”
“Ada apa sebenarnya, Dok?” tanyaku lemah. Pikiranku sudah kacau, dadaku sesak.
“Bu, mohon maaf saya harus mengatakan ini, bahwa bayi dalam kandungan Ibu sudah tidak bernyawa. Detak jantungnya telah berhenti setelah terjadi pendarahan tadi.”

Dunia seakan runtuh seketika. Aku tak bisa bernafas lagi. Air mataku mengalir deras sekali tanpa bisa kubendung, tapi tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.

“Bu, tindakan medis pembersihan rahim harus segera dilakukan. Ditakutkan nanti Ibu bisa terkena infeksi jika terlalu lama,” lanjutnya.

“Sabar ya Bu, InsyaAllah setelah proses operasi ringan ini dan pengobatan, Ibu bisa segera mengandung lagi,”ucapnya lembut bermaksud menenangkanku.
“Enak saja bicara!! Kau pikir mudah untuk menghadapi persoalan seperti ini dan berfikir bahwa aku akan bisa cepat mengandung lagi!!”batinku disela isak tangisku yang semakin lama semakin keras. Tak ada suami, tak ada kerabat, dan tak ada rekan. Ah ya, teman-temanku pasti tidak bisa meninggalkan acara yang masih berlangsung itu.
“Lakukanlah yang terbaik,” jawabku datar. Dan dokter itupun mengangguk sembari mengatakan,“pastiBu.”.
Proses operasi kiret itupun dilakukan. Pasca operasi aku masih harus berada di rumah sakit selama tiga hari. Teman-teman kerjaku telah kembali ke Yogya. Atasanku tak memperbolehkan satupun orang untuk tinggal menemaniku. Aku hanya diberikan tiket pulang dan beberapa surat yang harus aku tandatangani.

Aku baca surat-surat tersebut. Salah satunya adalah surat pernyataan ijin dan lalai terhadap tugas. Surat lainnya mengatakan pernyataan cuti, dan satu surat lagi menyebutkan bahwa semua biaya rumah sakit telah dibayarkan oleh perusahaan dan akan dihitung sebagai hutangdan pembayaran akan secara otomatis dipotongkan pada upah setiap bulannya.

“Mengapa surat ini harus diberikan padaku sekarang? Mengapa tidak di Yogya?”kataku lirih. Bergetar tanganku karena marah, bingung, sedih. Tapi apa daya. Tak ada yang bisa aku lakukan. Semua telah terjadi. Aku kehilangan anakku, dan harus menanggung semua kekejian perusahaan atas musibahku.

“Maafkan Ibu, Nak. Maafkan aku tak bisa menjagamu. Kembalilah kepada Tuhanmu. Dunia ini kejam, Nak. Mungkin kau akan muak hidup disini. Bertemu orang-orang tanpa hati. Lebih baik kau hidup di surga. Damai dan bahagia.”

“Jaga ucapan Anda, Bu!”, dengan lantang aku menantang wanita yang tidak terlalu tinggi itu.
“Seandainya saya Ibunda Anda masih hidup dan melihat perlakuan Andasaat ini, saya yakin, beliau menyesal telah melahirkan Anda di dunia!! Anda wanita, tapi tak pernah jadi wanita!!”.

Kemarahanku memuncak. Aku sudah tegak berdiri berhadapan dengannya. Satu tanganku mengepal kencang, dan satu tangan lagi menunjuk tepat di depan hidung buatannya itu. Jantungku berdetak bagai aku baru saja berlari setidaknya lima kali berkeliling stadion. Hampir saja aku menambah kekejaman dengan meludahi wajah yang berekspresi aneh itu. Tapi kutahan. Aku tak mau ikut hina dengan melakukan itu padanya.

“Cukup Bu, saya resign. Terima kasih atas penghidupan yang Ibu berikan pada seluruh penghuni neraka ini. Selamat siang.” Dengan mantap aku melangkah. Naik ke lantai dua dimana meja kecil jelek tempatku biasa bekerja diletakkan, membereskan barang-barangku, dan dengan langkah secepat mungkin meninggalkan tempat jahanam itu.

Terus kuingat wajahnya yang sudah dalam puncak kemarahan. Matanya terbelalak merah, bibirnya terkatup rapat saking tak bisa berkata-kata. Sekilas aku berpikir wajah artifisial itu semakin aneh. Apakah alis yang terletak terlalu jauh dari mata itu baru saja ditato ulang? Atau karena kemarahannya sehingga posisinya menjadi jauh lebih aneh dari biasanya. Aku terus berjalan menuju halte bus terdekat sambil terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku pasti bisa bertahan. Aku pasti masih bisa berkarya. Tapi tidak disini. Tidak di tempat yang tidak memuliakan kehidupan. Wanita itu tak pernah sadar, bahwa selain Adam dan Hawa, kehidupan dimulai dari rahim ini.

“Tenang Nak, kali kau selamat. Ibu bersumpah akan melindungimu,”janjiku sambil memeluk erat perutku sendiri. []

Engkau Nyata dan Tak Ada

Kau hadir di setiap mimpiku
Tapi kucari, kau tiada

Halusinasi dan tak nyata
Itulah dirimu

Dalam setiap lamunan kau muncul
Hampir nyata tapi tak ada

Rasa yang dekat dan melekat
Seperti angin disela rambutku
Seperti wangi bunga di musim semi

Ketiadaan membuatmu ada
Di setiap mimpiku
Di setiap lamunku

12 April 2017, 2:03 Am

Karena malam yang panjang selalu syahdu.

Rindu oh Rindu

Melengkapi kalimat yang tak selesai, habis dimakan waktu.
Ada tujuan tanpa tau arah.
Pandangan yang samar, di kejauhan.

Ada tujuh warna dalam satu cahaya,
saling melengkapi dalam terang.

Bisikan lirih membawa senyum.
Hilang sesaat lalu hadir lagi dalam hangat.
Ingin kupeluk selamanya.
Rindu oh rindu.

Mentari pagi, di mana engkau?

Enam Belas Hari Lagi Desember

Senja tak akan abadi
Begitu pula sejuknya udara pagi
Yang berganti menjadi panas yang terik
Atau hujan yang lebat

Kau takkan mengetuk pintu ini lagi
Bisa saja,
Besok kita tak lagi jumpa

Mengapa kau tancapkan paku?

Padahal aku kaca
Kepinganku bisa melukaimu

Enam belas hari lagi Desember
Ingatkah kamu?

Secercah Surga

Terayun-ayun ujung kaki menyentuh tanah basah
Menggantung di ranting pohon jambu
Semburat ungu di langit senja
Udara segar semerbak bau tanah

Tersungging senyum bahagia tak tereka
“Tak ada yang sebahagia aku” batin si gadis berambut tipis
Riang tak terkira seriang rambutnya menari diterpa angin
Butiran air membanjiri bumi
Seiring butiran haru di pipinya

Oh, alam tak pernah seindah ini.

Come Closer

Taken from www.tsitra360.deviantart.com

Taken from www.tsitra360.deviantart.com

Tomorrow is just the same day
Cloudy-cold-creepy day

Hey baby, where are you
Please come closer
We talk over the sun
And face this desert land

The spooky wind is coming after me
I can’t run

Please come closer
Bring me the blanket
and the water i can jump

Hey baby, I can’t hold on
Blood is just like a dew in the morning
Flowing just like the tears

on my cheek

Today is colder than yesterday
But it feels better
I feel nothing, no more

Hey baby,.. i’m free..
Please come closer, and join me..


Yogyakarta, May 17, 2013

Saya Bukan Siapa-Siapa

Saya bukan siapa-siapa,
Bukan pahlawan,
Bukan wanita tangguh yang tak pernah mengeluh,
Dan bukan wanita lembut yang anggun dan rupawan.

Saya bukan siapa-siapa,
Bukan wanita jenius,
Bukan musisi,
Dan bukan juga koki yang handal.

Saya (mungkin) akan tetap bukan siapa-siapa,
Tetap wanita biasa,
Tetap istri biasa,
Tetap ibu biasa.

Saya bukan siapa-siapa