Zine: Alternatif atau Mainstream [1]

Oleh Khidir Marsanto

Repost dari : http://jarakpandang.net/blog/?p=1185

:: Fanzine ::

Tatkala saya membaca atau mendengar istilah ‘alternatif’maka yang muncul dalam pikiran saya pertama kali adalah oposisinya, yaitu ‘mainstream’. Istilah mainstream dalam kamus bahasa Indonesia disebut ‘arus utama’ atau ‘aliran utama’. Imajinasi mengenai dikotomi istilah pada dua sisi berlainan atau berlawanan tentang hal ini biasanya memang diarahkan ke sana—setidaknya dalam asumsi saya. Jadi, meminjam bahasa dalam perspektif Marxian, sesuatu hal yang ‘alternatif’—yang dilawan, ditolak, atau digugat, itu ada tersebab eksistensi dari- dan relasinya dengan sesuatu yang dipandang ‘mainstream’—yang ‘status quo’ atau yang konvensional, vice versa. Dalam konteks jagat media, dialektika seperti ini kira-kira yang biasa terjadi.

apakah zine merupakan media alternatif atau media mainstream? Menurut saya tidak selalu, tergantung dari mana cara kita memandangnya

Berkenaan dengan hal itu, tatkala membicarakan gejala sosial-budaya, utamanya pada masyarakat perkotaan dan konteks lebih luas adalah masyarakat yang berjejaring secara mengglobal mau tidak mau akan berhubungan erat dengan media. Media mempunya genre beragam, namun yang diangkat dalam esai ini adalah zine, yang merupakan kependekan dari fanzine (fan magazine).

Zine menarik bagi saya sebab, pertama, masih belum banyakyang mengkaji soal ini di Indonesia meskipun ia telah muncul sejak dua dekade lalu sebagai bagian dari gejala budaya pop di Indonesia. Kedua, kemunculan zine umumnya mengisyaratkan sebuah perlawananyang termediasi dalam bahasa tulis dan diproduksi secara mana-suka. Ketiga, isu-isu yang diangkat biasanya tidak jauh dari tema identitas ‘liyan’ atau yang tidak biasa diketahui oleh orang awam di media massa konvensional, seperti misalnya gay dan lesbian (homoseksual) (lihat kajian Tom Boellstorff, 2004mengenai zine dan bahasa homoseksual di Indonesia), komunitas punk, feminisme, komunitas arisan, komunitas curhat, musik hipmetal, dan sebagainya. Oleh karenanya, zine dapat dikategorikan sebagai ‘media alternatif’ (Anderson, 2011; Atton, 2002, 2010; Vantiani, 2010).

Dalam esai pendek ini, saya ingin menunjukkan seperti apa zine dalam relasinya dengan masyarakat urban di Indonesia, dan apa yang menarik dari fenomena itu. Tentang ini, paling tidak sejauh yang saya tangkap nampak dua isu: (1) isu identitas dan (2) isu pertukaran sosial. Sebagai tambahan dan saya kira penting untuk memancing perdebatan, saya akan memberikan komentar kritis berkenaan dengan istilah ‘alternatif’ dan ‘mainstream’ secara singkat di akhir tulisan, sebab menurut saya hal ini problematis jika tidak dipahami secara baik dan hati-hati.

Zine: menulis komunitas dalam kreativitas menulis

Zine diciptakan dan muncul sebagai respon atau perlawanan dari media massa mainstream. Sebab itu, biasanya zine berisi hal-hal yang bersifat menggugah, atau provokatif (tentu provokatif dapat dimaknai berbeda-beda, tergantung pada sudut pandangnya: bisa ‘positif’ atau ‘negatif’). Oleh karenanya, zine dipandang sebagai salah satu genre media alternatif (Atton, 2002; 2010) atau non-mainstream (Vantiani, 2010). Ketika media konvensional tidak lagi memadai bagi suara-suara (baca: hasrat) mereka, bagi hasrat informasi yang lebih spesifik, tata-letak dan corak yang khas lagi kreatif (dari sisi desain), maka zine adalah jawaban (baca: representasi atau simbol) bagi individu maupun komunitas tertentu.

Zine merupakan produk dari kebudayaan (ada yang menyebut sebagai sub-culture ada yang menyebutnya sebagai bagian dari pop-culture) suatu kelompok kaum muda pecinta ceritera-ceritera (komik) sains-fiksi di Amerika pada 1930-an yang dikembangkan lebih jauh sekitar empat puluh tahun kemudian secara lebih ‘massif’ oleh kelompok-kelompok berbasis musik (punk, misalnya), film, sastra, sketsa-sketsa pensil, streetart (graffiti), sports (roller-blade / in-line skate, skate board, dsb.), dan aktivitas kebudayaan lainnya; sebagian ada yang menyebut kemunculan zine pada 1980-an; dan sebagian yang lain mengklaim ia muncul pertama kali di Eropa (lihat Anderson, 2011; Atton, 2002, 2010; Vantiani 2010). Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelusuran Vantiani, zine baru dikenal pada awal dekade 1990-an (Vantiani 2010).

Jargon-jargon yang mendasari penulisan zine, berkisar seperti: Come on! Express your feelings, your questions about your sickness of the world, your (personal) problems, and whatever you wanna say. Hal-hal ini merupakan semangat yang diusung para pegiat zine. Karenanya, terdapat setidaknya empat karakter umum yang dapat kita tengarai pada zine, yaitu (1) a kind of liberal movement; (2) news values: don’t know what you are; (3) borderless media, choose your own media; dan (4) specific: focusing one topic (Vantiani 2010:1).

Sebagai media alternatif, Stephen Duncumbe dalam Notes From The Underground sebagaimana dikutip Vantiani, menjelaskan bahwa ciri unik zine adalah media yang ditangani secara non-komersial, non-profesional (amatir), disirkulasikan secara ‘underground’ kadang acak, editor (zinester—kreator zine) anonim sebab kadang nama menjadi tidak penting kecuali isi, bahkan kadang sebuah zine tidak mencantumkan alamat di mana zine ini dibuat (Vantiani, 2010) sehingga respon atas zine kadang tidak sampai ke zinesters. Editor (zinesters), atau pengedar utama dari suatu zine, merupakan kontributor terbesar dari zinenya, namun dia biasanya juga akan mendapatkannya dari teman atau sesama pembuat zine lainnya. Cara yang lebih umum membuka penawaran untuk berkontribusi untuk zinenya. Isi zine juga bisa merupakan bajakan atau ‘pinjaman’ dari zine lainnya atau media mainstream sekalipun, bahkan kadang diambil begitu saja tanpa ijin penulisnya (menyiratkan perlawanan terhadap copy right). Zine dicetak di atas mesin fotokopi biasa sebanyak 50 eksemplar (ada zine dengan jumlah setiap edisinya sampai 5,000 eksemplar seperti Slug & Lettuce), distaples, dan jumlah halaman berkisar antara sepuluh hingga empat puluh halaman (Maximum Rock ‘n Roll adalah contoh zine yang tebal) (Anderson, 2011; Atton, 2002, 2010; Vantiani 2010).

Zine sengaja diciptakan dengan semangat ‘perlawanan’: do it yourself (DIY) dan didistribusikan melalui strategi jejaring individu maupun yang dibangun melalui komunitas tertentu, yang mana hal ini bergantung pada topik-topik yang diusung sebagaimana telah disebutkan di atas. Struktur isi dari setiap zine secara umum berupa personal editorial, kemudian bisa muncul di sana artikel-artikel curhatan, kritik, opini, serta ulasan-ilasan mulai dari buku, musik, fesyen, dan sebagainya (Anderson, 2011; Vantiani, 2010). Sangat sederhana. Di antara halaman-halamannya terdapat puisi, cerpen, potongan-potongan berita dari media massa yang dirangkai sendiri kemudian diberi komentar tentang berita tersebut, juga ada yang menampilkan ilustrasi dan komik (Vantiani, 2010).

Dalam praktiknya, tekanan zine,“bukan pada apakah sifat zine yang mainstream atau non-mainstream (alternatif), melainkan lebih kepada apakah bisa dia berfungsi sebagai sebuahmedia komunikasi yang menyenangkan buat kita dan orang lain” (cetak miring penekanan dari saya, Vantiani, 2010:3). Tantangan para pengampu zine adalah sejauh mana dia dapat merengkuh pembaca sebanyak-banyaknya, dan tentu saja ini dilandasi prinsip tersampaikannya pesan dalam zine tersebut. Zine dapat dikatakan gagal bila isi zine tidak dapat dimengerti oleh pembacanya (Vantiani, 2010:2), meskipun pangsa zine tidak lain adalah dari komunitas penggemar tema tertentu itu sendiri.

Di mata saya, satu hal yang menarik dalam fenomena zine adalah bagi para fanzines,”meski zine bukan media mainstream, tetapi kultur menulislah yang dinomorsatukan!” (Ibid). Klaim ini mengingatkan saya pada Goenawan Mohammad di salah satu Catatan Pinggir, Majalah Tempo[2] yang mengatakan bahwa tiada masalah berarti bagi mereka yang disebut alay, bahwa mereka berbahasa dan menuliskannya dalam kombinasi serta komposisi bahasa yang unik, dan kadang terasa nampak rumit, toh yang pokok mereka menulis. Menulis, membuat mereka berfikir dua kali, tidak asal. Berpikir dalam sistematika logika bahasa yang lebih sulit ketimbang ketika mereka berbicara (GM, 2011).

Dari sudut pandang yang lain, Jaques Derrida misalnya, kultur menulis membuat orang tidak terjebak (gampang percaya) pada ‘kebenaran’ yang terlontar dari ucapan atau ujaran, sebab tidak jarang bahasa tutur dianggap paling representatif untuk menyampaikan sesuatu ‘kebenaran’ (fonosentrisme). Menurut Derrida bahasa tutur justru kerap menelikung (dari pemaknaan denotatif) kita atas maksud dalam kata-kata yang tersuarakan lewat mulut (Sarup, 1993:56—59). Dalam konteks gagasan Derrida ini, tulisan menjadi ‘istimewa’, dan dengan demikian zine adalah salah satu media interaksi antarsubyek dalam mendialogkan pikiran melalui tulisan, sehingga tercipta iklim yang produktif. Zine dihidupi oleh kaum muda, (biasanya) di kota, dan ia sangat dinamis, sehingga zine ini penting dalam makna ia merupakan salah satu sarana mereproduksi gagasan kreatif, berargumen, dan mereproduksi respon secara kritisatas ide-ide awam yang dipersoalkan.

Identitas dan Pertukaran Sosial

Melanjutkan bahasan di atas, jika kita berpijak dalam perspektif Lacanian, zine dan komunitasnya dapat dibaca sebagaimedia komunikasi reflektif. Zine menjadi sarana bercermin, dalam pengertian saling mengidentifikasi satu dengan yang lain melalui bahasa. Lacan mengatakan bahwa identitas atau diri (anggap saja si A) tidak akan hadir (atau mengada) tanpa diletakkan dalam relasinya dengan orang lain,yang mengatakan, menyebut, menganggap, menamai, atau menilai ‘karakter’ si A (Sarup 1993:10—13). Di kesempatan lain, Sarup mengatakan—juga dalam cara pandang Lacanian, bahwa, ”identity can be displaced; it can be hybrid or multiple. It can be constituted through community …” (Sarup, 2002:1).

Identitas itu bukan terberi (taken for granted) melainkan dibentuk (fabricated dalam istilah Sarup) melalui proses interaksi—yang bisa dipilihnya maupun tidak—dalam pengaruh faktor-faktor sosiologis maupun psikologis (Sarup, 2002:14). Oleh karenanya, komunitas zine dan produk kebudayaannya dapat dikatakan sebagai sarana ‘pembentuk’ identitas diri (dan komunitas). Identitas diri dimediasi oleh bahasa (tulis) atau teks yang diproduksi dan dikonsumsi oleh komunitas (orang lain). Di sini, sebagaimana di sebut di atas bahwa zine yang berhasil adalah zine yang dapat merangkul sebanyak mungkin pembaca, dan prasarat lain dari kesuksesan zine ialah kejelasan isi atau pesan (wacana) yang disampaikan darinya kepada pembaca.

The zine as a medium stands in for a social relationship: It is a token to be exchanged. Even when the zine is part of a commodity transaction, it carries with it something of the obligation that a gift exchange carries

Melalui kajian sosiologi, utamanya cabang disiplin seperti cultural studies, fenomena zine ini dapat dianggap tidak melulu merupakan fenomena konsumerisme, dalam arti para fan atau penggemar topik tertentu itu dianggap konsumen yang tak berdaya sehingga pasif atau menerima apa adanya hal-hal yang terjadi di sekitar mereka (lihat uraian Atton 2002, 2010). Namun, lebih dari itu. Atton mengatakan,”…that fans are cultural producers, forming an alternative social community where their activities build and sustain solidarity within the fan community.” Menarik bahwa solidaritas akan kegemaran tertentu dijaga dan dilestarikan dalam wacana yang ditulis pada zine tersebut. Atton menjelaskan,”…at the heart of zine culture is not the study of celebrity, cultural product, or activity, but the study of self, of personal expression, and of the building of community (cetak tegak penekanan dari saya, Atton, 2010).”

Kita lihat klaim Atton di atas “of the building of community” sebagai salah satu alasan zine diciptakan. Hal ini mengingatkan saya pada teori pertukaran sosial (social exchange theory). Dalam teori pertukaran sosial klasik sosiologi Durkheimian mengandaikan bahwa solidaritas sosial (komunitas) terjadi karena adanya pertukaran yang dilandasi motif-motif ekonomi semata (atau sebagai basis utamanya). Hal ini ditolak oleh Lévi-Strauss, antropolog struktural aliran Prancis yang anti-economic exchange. Dalam kacamata Lévi-Strauss yang ia adopsi dari Marcell Mauss, bahwa aktivitas pertukaran lebih dikarenakan oleh ‘moral’ para pelaku kebudayaannya. Dan pertukaran terjadi melibatkan unit-unit terkecil dari suatu komunitaskarena adanya ambisi-ambisi yang harus dijaga bersama (Ekeh, 1974). Kita tarik teori itu pada fenomena zine, berikut:

The zine as a medium stands in for a social relationship: It is a token to be exchanged. Even when the zine is part of a commodity transaction, it carries with it something of the obligation that a gift exchange carries. Rather than being bought from a vendor, the zine is almost invariably bought from an individual and is a product of that individual’s labor, a sign of their individuality. The acquisition of zines was surrounded by its own etiquette that expected readers to be patient it takes time to make zines, answer mail, and fill out orders.” (cetak tegak penekanan dari saya, Atton 2002; 2010)

Dari kutipan itu, pendek kata, kita bisa melihat secara implisit bahwa asumsinya adalah terdapat kesamaan gagasan, ide, maupun misi dalam benak para fanzine atau komunitas yang menghidupi zine itu, bukan faktor ekonomi yang mendorongnya, sehingga mereka merasa perlu ‘melestarikan’ atau mereproduksi wacana yang mereka anggap menarik atau penting melalui aktivitas produksi zine itu secara terus-menerus—tentu dalam batas kemampuan produksi mereka seperti yang dikatakan oleh Vantiani. Dari sinilah, dengan demikian,‘kebutuhan’atau‘hasrat’, dalam bahasa Lacan, kelompok ini tercukupi, dan karenanya kohesivitas (solidaritas) dan integrasi sosial dalam komunitas ‘terbatas’ (yang homogen atau bisa heterogen) ini terjalin secara baik.

‘Alternatif’ atau ‘Mainstream’: sebuah komentar

Sebagai penutup, dalam pandangan saya, melalui kasus zine yang diurai di atas, terdapat beberapa komentar atau setidaknya menyoal kembali berkenaan dengan konsep ‘alternatif’—dalam konteks sifat zine sebagai media alternatif, di atas yang saya anggap problematis. Pertama, yaitu ketika konsep ‘alternatif’ di situ merupakan wujud “perlawanan” dari media yang dianggap ‘mainstream’, maka yang terjadi adalah ekslusivitas media tertentu. Eksklusif dalam makna terbatas, atau media ini hanya disajikan dan dikonsumsi oleh mereka yang mengetahuinya saja, dan tentu saja menaruh minat pada media alternatif itu.

Sisi eksklusif tidak salah, namun ketika media alternatif menjadi ekslusif, asumsi atau pandangan spekulasi saya padanya adalah ia keluar dari kerangka misi utama media alternatif itu sendiri, yang mengandaikan bahwa media alternatif akan membawa nuansa yang demokratis (Creeber, 2009). Dalam kacamata tertentu memang ia demokratis, sebab ia merangkul sejumlah pesan dan misi yang hendak disampaikan dan disebarkan oleh kelompoknya. Namun, dalam pandangan saya ia pun kontra-demokratis sebab wacana yang dibangun di dalamnya tidak keluar dari ‘egosentrisme’ atau ‘etnosentrisme’ kelompok itu sendiri. Dengan demikian, ‘media alternatif’ dalam pandangan ini menjadi relatif.

Komentar kedua terhadapnya adalah bahwa konsep alternatif bukan sebenar-benarnya ‘alternatif’. Mengapa demikian? Sebab, kini, media yang mendaku dirinya sebagai alternatif pun pada gilirannya beranjak menjadi media mainstream—meskipun ia tetap berkutat di kalangan tertentu, namun skala jangkauan konsumen atau pembacanya menjadi lebih luas atau lebih banyak ketimbang saat media ini dibuat. Asumsinya adalah alternatif di sini dibayangkan sebagai bentuk media lain dari media konvensional, bisa koran, bisa televisi, bisa majalah, atau yang lain. Saya membayangkan, misalnya, koran Kompas yang dikategorikan sebagai media cetak mainstream, toh awalnya juga bukan ‘mainstream’ jika dilihat dari segi jangkauan keterbacaan koran ini. Dan bahkan, hingga kini saya kira Kompas masih kurang populer—jika tidak ingin dikatakan tidak populer—bagi kalangan masyarakat ‘desa’ maupun bagi kalangan ‘menengah kebawah’ di perkotaan. Dalam makna demikian, maka Kompas tidak keliru kalau dikatakan sebagai koran mainstream kelas menengah perkotaan, dan ia dengan sendirinya adalah media alternatif bagi masyarakat yang bukan kota dan yang bukan kelas menengah (c.f. Lukman Solihin, 2008 mengenai koran kuning di Yogyakarta).

Contoh lain adalah fenomena “media (sosial) baru” (the new media) di dunia maya dewasa ini. Twitter, misalnya, ia merupakan satu bentuk media alternatif yang paling terkemuka (jika dilihat dari penggunanya) dan kerap fungsional (jika dilihat dari efek yang muncul dari pengguna Twitter). Dalam pidato Dies Natalis UGM ke-62 Mochtar Mas’oed, guru besar ilmu Hubungan Internasional, FISIP UGM, memberikan uraian tentang bagaimana masyarakat di zaman yang serba teknologi-informasi ini mampu menghimpun dan bahkan menyatukan wacana publik untuk kemudian menggulingkan sebuah rezim penguasa tertentu melalui the new media (Mas’oed, 2011).

Kita bisa lihat demonstrasi massa besar-besaran yang terjadi di Kairo Mesir, Tunisia, dan lain-lain belakangan awalnya digerakkan oleh diskursus untuk menghadirkan iklim demokrasi atau perbaikan pemerintah di negaranya yang dipandang bobrok yang dihimpun—dan pun akhirnya disepakati—dalam tweets atau ‘ocehan-ocehan’ kritis di Twitter. Maka, Twitter di sini kemudian menjadi ‘mainstream’. Seperti yang dikatakan Ban Ki-moon, Sekjen PBB baru-baru ini dalam berita Amnesty International via Twitter: @amnesty Ban Ki-moon: World’s dictators more scared of tweets than opposing armies. Atau barangkali komentar sastrawan dan esais seperti Goenawan Mohammad terhadap media maisntream menjadi contoh menarik, dan mungkin ini awal mula bagi mereka yang enggan lagi menengok media massa nasional untuk menciptakan media mereka sendiri. Dalam tagar (hastag) berita nasional, GM mengatakan: @gm_gm nggak dibaca penasaran, dibaca bikin mual… #beritanasional.

Dalam konteks zine, Vantiani sebagai pelaku dan pengamat zine di Indonesia, ia mengatakan bahwa,

” … dengan semua kebebasan yang dimilikinya pun, zine ternyata tetap pada akhirnya mengalami seleksi alam yang pada dasarnya sama dengan media-media cetak di luar sana (media mainstream). (Sebab) zine-zine yang dianggap sangat berpengaruh dan inspirasional sejak mulai masuknya di Indonesia (pada) awal 1990-an hingga sekarang adalah zine-zine yang dibuat dengan pengerjaan yang serius, mulai dari isi, tata-letak, desain, dan juga distribusinya” (Vantiani, 2010).

Vantiani mencontohkan fanzine musik Tigabelas yang dibuat oleh Arian dan Ucok. Fanzine yang terbit pertama pada Agustus 1998 mengenai musik politik merupakan menjadi fanzine pertama dalam topik itu. Dalam setiap edisinya, fanzine setebal 60 halaman ini sdah memiliki desain sampul, lay out, dan kolom yang membuatnya ‘stand out’ (atau berciri lain) dari semua zine kala itu, dan barangkali masih yang tertebal hingga sekarang (Vantiani, 2010).

Menurut para penggemar Tigabelas, zine ini teristimewa lantaran isi dapat membius dan menyihir para pembacanya untuk menggemari topik dan musik yang mereka wacanakan dalam zine itu, kendati sebelum membaca zine ini mereka sama sekali tidak berminat pada tema-tema musik politik. Akan tetapi, yang menarik adalah zine sama sekali tidak diperjual-belikan, ia bebas didapat. Obesesinya hanya pada aspek keterbacaan isi zine itu sendiri. Dengan demikian, kita bisa lihat berlaku lagi proposisi ‘media alternatif’ sebagai sesuatu yang relatif, karena terdapat dualisme di sana. Pertanyaannya lagi-lagi, apakah zine merupakan media alternatif atau media mainstream? Menurut saya tidak selalu, tergantung dari mana cara kita memandangnya. []

 

Referensi

Anderson, Terri L. 2011. “Zines.” Encyclopedia of Social Networks. Ed. George A. Barnett. Thousand Oaks, CA: SAGE. 981-82. SAGE Reference Online. Web. 10 Apr. 2012.

Atton, Chris. 2002. Alternative Media. London: Sage.

_____. 2010. “Zines.” Encyclopedia of Social Movement Media. Ed. John D. H. Downing. Thousand Oaks, CA: SAGE. 566-68. SAGE Reference Online. Web. 10 Apr. 2012.

Boellstorff,Tom.2004. “Zines and Zones of Desire: Mass Mediated Love, National Romance, and Sexual Citizenship in Gay Indonesia,” Journal of Asian Studies 63 (4):159—195.

Creeber, Glen. 2009. “Digital Theory: theorizing New Media,”dalam Digital Cultures: Understanding New Media, Glen Creeber dan Royston Martin. Hlm. 11—22. Milton Keynes: The Open University.

Ekeh, Peter P. 1974. Social Exchange Theory: the two traditions.London: Heinemenn Edu. Books.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation,”dalam Representation: Cultural Representations and Signifiying Practices, Ed.Stuart Hall. Hlm. 13—64. Milton Keynes: The Open University.

Mas’oed, Mohtar. 2011. “Untuk Apa Negara? Renungan Akhir Tahun tentang Tanggung Jawab Penyelenggaraan Publik,” Naskah pidato disampaikan pada Rapat Terbuka dalam Rangka Peringatan Dies Natalis ke-62 Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, 19 Desember 2011.

Mohammad, Gunawan. 2011. “ …… “, rubrik Catatan Pinggir, Tempo.

Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-structuralism and Postmodernism. Athens: The University of Georgia Press.

_____. 2002. Identity, Culture & The Postmodern World. Edinburg: Edinburg University Press.

Solihin, Lukman. 2008. Koran Merapi dan Pembaca: Sebuah Etnografi Surat Kabar Populer di Yogyakarta. Naskah skripsi Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tidak dipublikasikan.

Vantiani, Ika. 2010. “Zine, media tanpa mesti yang mesti dimaksimalkan lagi,” makalah workshopPenulisan Kritik Seni Rupa, @ruangrupa, Jakarta 17 Juni 2010.

Twitter

@amnesty, akun resmi Amnesty Internasional di media Twitter

@gm_gm, akun resmi Goenawan Mohammad di media Twitter


[1] Esai ini sebenarnya masih sangat spekulatif—meski tidak bisa juga dikatakan asal—lantaran Zine saya pahami dari teks yang saya dapatkan, bukan dari yang saya jumpai di ‘lapangan’. Saya sendiri tidak terlibat dengan komunitas atau person yang bergiat di “ke-zine-an”. Namun, mulanya saya tertarik dengan bahan diskusi dari Mbak Ika Vantiani tentang Zine saat Workshop Penulisan Kritik Seni Rupa dan Budaya Visual di ruru pada Juni 2010 lalu. Zine di mata saya sangat asing, sangat liyan. Sehingga, kala itu banyak oret-oretan yang saya tulis kala diskusi, dan baru kali ini saya sempat untuk menuliskannya dalam format esai sederhana. Saya berharap banyak untuk mendapat komentar, sanggahan, pandangan dari kawan-kawan pembaca tulisan ini untuk kemudian dapat saya gunakan untuk menyempurnakan tulisan ini.

[2] Sayangnya, sampai esai ini selesai ditulis saya belum berhasil menemukan judul artikel Catatan Pinggir yang memuat pernyataan ini dan juga di edisi Tempo yang mana, kecuali tahunnya yaitu tahun 2011.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *