“WOW!!” dan “Oh really?”
Ya, dua kata itulah yang secara spontan terlontar dari mulut saya ketika pertama kali mendengar berita dari rekan kerja saya,monsiour Jean-Pascal Elbaz (seorang rekan berkewarganegaraan Prancis yang membuka restoran India di Jogja),tentang berangkatnya para seniman Jogja ke Paris, Perancis untuk mengikuti pameran seni rupa di “Espace Culturel LOUIS VUITTON”.
Yeah, Espace Culturel LOUIS VUITTON! Kenapa saya membuat kapital pada LOUIS VUITTON? Karena siapa sih yang tak kenal dengan world brand ini? Selain mendapatkan predikat 16 besar merk dalam ‘The 100 Best Global Brands 2009’ versi majalah Businessweek, merk ini memiliki cabang diratusan kota di dunia, sangat digandrungi para pecinta fashion, dan bahkan saking besarnya permintaan pasar, barang tiruannya pun diproduksi secara massal diberbagai negara.
“Espace culturel Louis Vuitton”adalah salah satu bagian dari showroom utama brand Louis Vuitton yang berlokasi di 60 Rue de Bassano (=baca Jalan Bassano no 60), Paris. Ruangan tersebut sengaja dibuat sebagai tempat untuk berekspresi secara artistik dan budaya. Dalam periode tertentu, “Espace culturel Louis Vuitton” menampilkan berbagai karya seni dan budaya dari berbagai negara diseluruh dunia. Lucky us! Karena sejak dimulainya acara ini pada 24 Juni hingga 23 Oktober 2011, galeri ini mengangkat tema Trans-Figurations – Indonesian Mythologies. Sounds cool, isn’t it?! Indeed!
Seperti yang tersurat pada tema tersebut, pameran ini menuangkan berbagai karya yang menggambarkan perkembangan mitologi-mitologi baru dalam kehidupan masyarakat kontemporer Indonesia. Tema ini juga menggarisbawahi bagaimana pergeseran/perubahan kepercayaan terhadap mitos-mitos, karakter, dan identitas pada masyarakat Indonesia masa kini.
Muasal pemilihan tema tersebut bermula dari kunjungan Direktur Espace Marie-Ange Moulonguet ke Yogyakarta. Sebelumnya, Marie-Ange telah melakukan kontak dengan Elizabeth Inandiak, seorang wartawan dan penulis Prancis yang telah melakukan penelitian tentang budaya Jawa sejak tahun 1989. Elizabeth telah melahirkan beberapa buku mengenai tradisi jawa yang salah satunya adalah Serat Centhini: Kekasih yang tersembunyi, yang diterjemahkan dari naskah kuno “Serat Centhini”. Dengan jaringan yang cukup luas, Elizabeth memperkenalkan Marie-Ange kepada beberapa seniman, budayawan dan kolektor seni yang berada di Yogyakarta. Dari perkenalan tersebut Marie-Ange mulai tertarik membawa karya-karya mereka yang berbau mitologi Indonesia untuk dipamerkan di galeri Espace culturel Louis Vuitton.
Bersama kurator pameran Hervé Mikaleloff, Marie-Ange memilih 11 seniman yang karyanya akan dipamerkan di Paris, yaitu Heri Dono, Arie Dyanto, Mella Jaarsma, Jompi Jompet, Agung Kurniawan, Eko Nugroho, Garin Nugroho, AriadyhityaPramuhendra, Eko Prawoto, Bayu Widodo, dan Tintin Wulia.
Dalam pengantar kuratorialnya Hervé menulis: “At the centre of the island of Java is the city of Yogyakarta, a real “hive of artistic activity” marked by its ancient beliefs, its history and its geography, which are a continual source of inspiration for artists”. (Official press release Trans-Figurations Indonesian mythologies)
Masuknya karya-karya seniman kita pada pameran ini, merupakan sebuah prestasi yang tentunya bisa membuka mata warga dunia, dan juga mata warga negara Indonesia sendiri untuk lebih dapat menghargai budayanya. Tanpa bantuan jejaring ataupun project kerjasama antar pemerintah maupun lembaga tertentu, karya seniman Indonesia berhasil secara ‘mandiri’ mengambil hati para pecinta seni dunia dan menorehkan prestasinya ditingkat internasional.
Saya menginformasikan hal ini, tidak lain untuk ikut menyebarkan sebuah kabar gembira agar kita semua bisa berbangga pada buah karya seniman-seniman tanah air. Dan kepada seluruh lapisan masyarakat, pemerintahan, dan lembaga yang berkompeten, untuk dapat terus melindungi dan melestarikan budaya yang ‘masih’ kita miliki.
Beberapa foto di bawah ini merupakan karya-karya yang akan dipamerkan di Trans-Figurations – Indonesian Mythologies.